Tech Savviness dan Teori Jobs to be Done

Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/people-sitting-down-near-table-with-assorted-laptop-computers-SYTO3xs06fU?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Tech savviness atau dalam Bahasa Indonesia dapat diparafrase sebagai kemampuan seseorang dalam menguasai teknologi. Ini sering menjadi salah satu pertanyaan yang harus dijawab oleh User Experience Researcher.

Tech savviness ini biasanya dikelompokkan, mulai dari low tech savviness, middle techsavviness, high tech savviness, middle to low, middle to high, dan berbagai istilah lainnya yang merujuk pada tingkat penguasaan teknologi tersebut.

Setidaknya untuk pengalaman saya sendiri, saya juga selalu menaruh perhatian pada aspek tech savviness ketika sedang berinteraksi dengan partisipan riset. Berbagai cara saya lakukan untuk mendapatkan gambaran penguasaan teknologi dari partisipan riset, kadang dengan langsung bertanya: “apa saja aktivitas yang anda lakukan menggunakan handphone atau laptop (atau benda-benda berteknologi yang berhubungan dengan kebutuhan riset)?”. Atau dengan melakukan observasi ketika sedang melangsungkan obrolan dan ketika bertemu langsung dengan partisipan riset.

Terlihat sederhana memang, kita hanya perlu melihat sejauh mana mereka dapat menguasai bentuk teknologi yang ada di sekitar mereka.

Tapi dalam konteks sederhana inilah, tech savviness memiliki dampak besar bagi keberlangsungan produk atau service yang kita bangun, yang bergantung pada perkembangan teknologi, berhubungan dengan internet dan tentu mengarah pada sifat mempermudah.

Ketika seseorang sudah dikatakan mampu dalam menguasai teknologi, masuk dalam tingkat middle to high tech savviness, mereka cenderung akan memahami bagaimana penguasaan teknlogi yang mereka miliki, mampu mendukung aktivitas mereka dalam menyelesaikan pekerjaan.

Yang perlu disadari selanjutnya adalah keberadaan teknologi dan kemampuan manusia dalam menguasai teknologi tersebut, tidak akan merubah pekerjaan yang harus mereka selesaikan.

Konsep Jobs to Be Done by Jim Kalbach memberikan gambaran dengan jelas, bahwa pekerjaan manusia tidak akan berubah, keberadaan teknologi lah yang mencampuri mereka dalam menyelesaikan pekerjaannya. Ketika siswa SMA ingin berangkat sekolah, saat ini mereka memiliki banyak pilihan, dapat menggunakan motor atau mobil pribadi, angkutan umum, dan adanya aplikasi transportasi online juga masuk dalam pilihan mereka. Berbagai pilihan tersebut sama sekali tidak merubah tujuan mereka. Pekerjaan yang harus mereka selesaikan hanya satu, mereka harus berpindah dari rumah ke sekolah.

Kini, pemanfaatan teknologi dari kelompok masyarakat penghasil produk digital sangat jelas terasa, terlebih karena Pandemi Covid 19 yang seakan merubah pola manusia di dunia dalam berkomunikasi dan menyelesaikan pekerjaan mereka. Masyarakat seakan terbagi atas produsen dan konsumen dari produk teknologi tersebut. Kemampuan individu dalam menguasai teknologi pun semakin diuji. Mungkin tingkat tech savviness manusia akan semakin beragam.

Di tengah kompleksitas keberadaan teknologi ini, sekali lagi bahwa pekerjaan manusia tidak akan berubah, hanya saja manusia akan selalu mencari cara tercepat, termudah, teraman dan mungkin ternyaman untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

Sebagai UX Researcher yang berinteraksi dengan pengguna dan menilai kemampuan pengguna dalam menguasai teknologi, maka UX Researcher pun harus mampu menjawab kebutuhan penggunanya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, mudah, aman dan mungkin nyaman tersebut. Bagaimana membangun produk atau service yang dapat memahami betul pekerjaan dan lingkungan dari pengguna, menjadi hal penting untuk selalu dipelajari dan dipraktikkan. Saya pun begitu, saat ini masih belajar untuk mencapai kesederhanaan dengan melewati berbagai proses yang tidak sederhana.

Populer video

Berita lainnya