Beberapa waktu yang lalu, gelombang aksi unjuk rasa yang dipimpin oleh mahasiswa menggema di berbagai kota di Indonesia. Salah satu tuntutan yang sempat mencuat dalam beberapa aksi adalah seruan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para demonstran menyampaikan kekecewaan terhadap kinerja DPR yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi rakyat, terutama terkait dengan pembahasan undang-undang yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Meskipun seruan pembubaran DPR menjadi perbincangan hangat, mekanisme dan legalitas pembubaran lembaga ini memerlukan penjelasan lebih dalam dari sudut pandang hukum dan konstitusi.
1. DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
DPR adalah salah satu lembaga negara yang memiliki kedudukan penting dalam sistem politik Indonesia. Tugas utamanya adalah menjalankan fungsi legislasi (membentuk undang-undang), fungsi pengawasan terhadap eksekutif, serta fungsi anggaran. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis pada UUD 1945, DPR diatur sebagai perwakilan rakyat yang dipilih secara demokratis melalui pemilu.
Karena posisi DPR yang strategis dalam menjaga check and balance antara eksekutif dan legislatif, lembaga ini tidak dapat dibubarkan secara sembarangan. Pembubaran DPR, jika memungkinkan, memerlukan proses yang sangat ketat dan perubahan besar dalam sistem politik dan hukum negara.
2. Apakah DPR Dapat Dibubarkan?
Dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia, pembubaran DPR tidak diatur secara eksplisit. Tidak ada mekanisme langsung dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada presiden atau lembaga lain untuk membubarkan DPR. Oleh karena itu, wacana pembubaran DPR memerlukan analisis mendalam terhadap beberapa aspek hukum dan ketatanegaraan.
Untuk membubarkan DPR, perubahan harus dilakukan pada UUD 1945 melalui mekanisme amandemen yang diatur Pasal 37. Proses ini harus dimulai dari pengajuan amandemen oleh minimal 1/3 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang kemudian harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dalam sidang. Amandemen ini juga hanya bisa terjadi jika ada konsensus politik yang luas di antara seluruh lembaga negara dan partai politik. Dengan kata lain, pembubaran DPR bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan secara sepihak oleh eksekutif atau lembaga lain.
3. Pembubaran DPR dalam Konteks Krisis Politik
Dalam beberapa negara lain, pembubaran parlemen seringkali terjadi dalam situasi krisis politik atau ketidakstabilan nasional. Namun, sistem pemerintahan di Indonesia memberikan jaminan bahwa hubungan antara eksekutif dan legislatif tetap berimbang. Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini untuk menjaga stabilitas politik serta mencegah terjadinya dominasi oleh salah satu cabang kekuasaan.
Di beberapa negara dengan sistem parlementer, kepala negara atau kepala pemerintahan dapat membubarkan parlemen dan menyerukan pemilihan baru ketika terjadi kebuntuan politik. Namun, Indonesia menerapkan sistem presidensial, di mana pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif lebih jelas dan tidak memungkinkan pembubaran DPR oleh presiden atau lembaga lainnya.
4. Tuntutan Mahasiswa: Suara Demokrasi atau Isyarat Krisis Kepercayaan?
Seruan pembubaran DPR yang muncul dalam aksi mahasiswa sebenarnya lebih mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap performa DPR daripada tuntutan formal yang diharapkan akan dipenuhi secara konstitusional. Demonstran merasa bahwa banyak keputusan DPR tidak mencerminkan kepentingan rakyat, terutama dalam proses pembuatan undang-undang yang dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik. Namun, meskipun seruan ini terdengar lantang, jalan menuju pembubaran DPR sangatlah rumit dan hampir tidak mungkin terwujud tanpa reformasi besar-besaran dalam sistem politik dan konstitusi.
Tuntutan ini juga bisa dilihat sebagai isyarat krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Jika tidak segera ditangani, krisis kepercayaan ini bisa memicu ketidakstabilan politik lebih lanjut. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk merefleksikan kinerjanya dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan.
5. Solusi: Reformasi atau Pembubaran?
Pembubaran DPR mungkin bukan solusi yang realistis untuk masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Sebaliknya, reformasi sistemik yang melibatkan peningkatan representasi rakyat, transparansi dalam pembuatan undang-undang, dan keterlibatan lebih luas masyarakat sipil mungkin lebih efektif. Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui revisi undang-undang terkait dan penguatan mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Pada akhirnya, suara mahasiswa harus didengar sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Kritik terhadap DPR merupakan sinyal bahwa masih ada ruang besar untuk perbaikan dalam menjalankan amanah rakyat. Namun, pembubaran DPR tidak semudah membalikkan telapak tangan, dan memerlukan jalan konstitusional yang panjang serta dialog politik yang matang.
Seruan pembubaran DPR yang muncul dalam aksi mahasiswa belakangan ini merupakan refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif. Namun, berdasarkan konstitusi Indonesia, pembubaran DPR bukanlah hal yang mudah dilakukan dan memerlukan perubahan mendasar dalam sistem hukum dan politik. Daripada fokus pada wacana pembubaran, reformasi sistem politik dan perbaikan dalam keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi mungkin menjadi jalan yang lebih realistis untuk mengatasi masalah yang ada.