Seorang siswa SMP di Deli Serdang, Rindu Syahputra Sinaga (14), meninggal dunia setelah dihukum squat jump 100 kali oleh gurunya. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menilai kejadian ini sangat memilukan. Menurutnya, insiden tersebut terjadi karena kurangnya penanganan kesehatan yang memadai, sehingga Rindu mengalami demam yang berujung pada kematian.
Jasra mengatakan, hukuman fisik di dalam kelas ini akan menjadi pengalaman traumatis bagi siswa lain. Ia juga menyayangkan penyebab hukuman, yakni karena siswa tidak dapat menyelesaikan tugas hafalan agama. Menurutnya, pemahaman agama yang sempit dan tidak ada ruang untuk siswa yang kesulitan dapat menciptakan tekanan yang berlebihan.
Hukuman fisik yang berat, lanjut Jasra, berpotensi menimbulkan trauma, terutama bagi siswa yang tidak terbiasa dengan aktivitas fisik berat. Ia menekankan, hukuman semacam ini, apalagi terkait pelajaran agama, tidak hanya berbahaya tetapi juga bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada Rindu.
Jasra juga menyoroti peran lingkungan dan sekolah dalam pemahaman agama anak. Menurutnya, anak tidak hanya terpengaruh oleh lingkungan sekolah, tetapi juga oleh apa yang terjadi di rumah dan masyarakat sekitar. Kondisi ini menambah beban mental anak, terutama setelah menjalani hukuman berat seperti squat jump.
Lebih lanjut, Jasra menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak relevan dengan pelajaran agama. Hukuman fisik semacam itu tidak akan menumbuhkan kesadaran beragama atau efek jera. Ia menekankan, tujuan pendidikan agama seharusnya untuk menciptakan cinta dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap agama, bukan ketakutan.
Selain itu, Jasra menyoroti keterbatasan fasilitas kesehatan yang diterima korban. Setelah dihukum, Rindu mengalami kondisi yang semakin memburuk, namun penanganan kesehatan yang diberikan hanya sebatas pemeriksaan klinis dan pemberian obat, tanpa perawatan intensif. Ketika kondisinya semakin kritis, penanganan terlambat dan hanya berujung pada surat kematian.
Jasra menyimpulkan, hukuman fisik ini jauh dari tujuan pembelajaran agama yang diharapkan. Rindu seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa agama seharusnya diajarkan dengan pendekatan yang ramah, bukan kekerasan. Meski guru yang terlibat telah dikeluarkan, pertanyaan penting adalah apakah cara mengajar agama dengan kekerasan juga akan dihentikan.
Ia juga menambahkan bahwa agama yang diajarkan dengan trauma masa lalu hanya akan menghasilkan generasi yang keras dalam beragama. Pemahaman seperti ini harus segera diakhiri. Agama seharusnya membebaskan dan memudahkan, bukan menindas pemeluknya.