Kasus predator seks yang menghebohkan di Panti Asuhan Darussalam An’nur, Tangerang, menjadi sorotan tajam masyarakat. Terungkapnya praktik keji ini melibatkan tiga tersangka: Sudirman, ketua yayasan berusia 49 tahun; Yusuf, pengasuh berusia 30 tahun; dan Yandi Supriyadi, seorang pengasuh yang kini dalam buronan. Mereka dituduh melakukan tindakan pencabulan terhadap 12 anak laki-laki yang berusia antara 3 hingga 22 tahun. Sungguh ironis, panti asuhan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak, justru disalahgunakan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Kronologi kasus ini dimulai ketika salah satu korban menceritakan pengalamannya kepada orang tua asuhnya, yang kemudian melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Penanganan kasus dilakukan dengan cepat, dan belasan anak tersebut kini ditempatkan di Rumah Perlindungan Sosial milik Dinas Sosial Kota Tangerang. Di sana, mereka akan menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan dan psikologis untuk menilai kondisi fisik dan mental mereka setelah mengalami trauma berat.
Apa yang membuat kasus ini semakin mencengangkan adalah fakta bahwa praktik pencabulan ini telah berlangsung selama hampir dua dekade. Panti asuhan tersebut didirikan pada tahun 2006 dan diduga menjadi sarang bagi para predator yang mencari anak-anak sebagai korban. Sebuah kenyataan yang menyedihkan, mengingat tujuan utama panti asuhan seharusnya adalah untuk memberikan perlindungan dan pendidikan bagi anak-anak yang membutuhkan.
Selain itu, pengungkapan ini juga mengundang perhatian lebih lanjut tentang pentingnya pengawasan di lembaga-lembaga sosial, termasuk panti asuhan. Banyak anak yang terjebak dalam sistem tersebut tanpa mendapatkan perlindungan yang layak. Insiden ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk lebih kritis dan aktif dalam mengawasi institusi yang berperan dalam kesejahteraan anak.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini menyoroti isu-isu yang lebih dalam terkait kekerasan terhadap anak dan perlindungan anak di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka kekerasan terhadap anak terus meningkat, dan perlindungan hukum yang ada masih sering kali tidak memadai. Kasus di Tangerang ini menuntut masyarakat untuk bersatu, mendesak perbaikan sistem perlindungan anak agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Kepolisian setempat telah menjelaskan bahwa para pelaku dijerat dengan Pasal 76E Juncto Pasal 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara antara 5 hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar. Namun, hukuman semata tidak cukup; perlu ada upaya sistematis untuk memastikan keselamatan dan kesehatan psikologis para korban, serta mencegah praktik serupa di panti asuhan lainnya. Keterlibatan komunitas dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, di mana mereka bisa tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut.