Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyoroti permasalahan ini sebagai isu yang krusial. Andreas Pareira, anggota DPR dari PDIP, menjelaskan bahwa tantangan ini akan menjadi beban berat bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru terpilih. Ia menekankan bahwa masalah dalam sektor pendidikan bukan hanya sekadar isu lokal, tetapi merupakan masalah nasional yang memerlukan perhatian serius.
Andreas mencatat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam sistem pendidikan, dan ketimpangan yang ada mengindikasikan bahwa banyak daerah masih terpinggirkan. “Banyak sekali persoalan yang tidak teratasi, terutama yang berkaitan dengan kualitas guru dan fasilitas pendidikan,” ujarnya. Ironisnya, meskipun anggaran pendidikan telah disiapkan, banyak di antaranya yang tidak terserap secara optimal. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan yang harus segera diperbaiki.
Salah satu sorotan utama adalah proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yang sering kali menimbulkan masalah. Kekurangan guru di banyak daerah menambah rumitnya situasi ini. Ketimpangan kualitas pendidikan, menurut Andreas, dapat ditelusuri kembali ke rendahnya jumlah guru berkualitas. “Kita perlu formulasi yang tepat untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga pengajar,” tambahnya. Dia juga mengingatkan bahwa kondisi ini diperparah oleh rendahnya hasil uji kompetensi guru dan ketidakmerataan sertifikasi.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menunjukkan bahwa ada sekitar 1,6 juta guru yang belum tersertifikasi. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam kualitas pengajaran di seluruh Indonesia. Lebih dari 60 juta murid yang bersekolah di 400 ribu sekolah sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang mereka terima, yang secara langsung dipengaruhi oleh kompetensi guru. “Sertifikasi guru harus dilihat bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai langkah penting untuk memastikan bahwa guru memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam proses pengajaran,” tegas Andreas.
Namun, masalah ini tidak hanya terfokus pada guru dan sertifikasi. Biaya pendidikan, perbedaan status sosial, dan diskriminasi gender juga turut berkontribusi pada ketidakadilan dalam akses pendidikan. Andreas mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan Indonesia, menekankan bahwa perbaikan harus dilakukan dari akar hingga ke puncak. “Pemerintah yang akan datang perlu mengevaluasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan dalam sektor pendidikan secara komprehensif,” katanya.
Kerja sama dengan universitas dan lembaga pendidikan tinggi juga diusulkan sebagai solusi. Dengan melibatkan pihak-pihak ini, pemerintah bisa merancang program pelatihan yang lebih efektif untuk meningkatkan kualitas guru. “Memastikan bahwa anggaran dialokasikan dengan tepat untuk infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal adalah langkah penting untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas,” ungkapnya.
Insight penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat dan sektor swasta. Melalui kolaborasi yang baik, semua pihak dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik. Kualitas pendidikan akan berpengaruh langsung pada masa depan generasi penerus bangsa, dan memperkuat pendidikan di tingkat dasar hingga tinggi sangatlah krusial.
Ke depan, kita harus berkomitmen untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya menjadi hak, tetapi juga berkualitas tinggi dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang baik, dan perbaikan yang menyeluruh di sektor ini harus menjadi prioritas utama bagi setiap pemerintahan yang akan datang.