Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto tidak akan secara drastis menambah utang negara. Pengelolaan utang akan dilakukan secara bertahap, dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam diskusi yang digelar oleh Kadin Indonesia, Hashim menekankan bahwa Prabowo berkomitmen menjaga stabilitas utang nasional, tanpa melakukan revisi Undang-Undang Keuangan Negara yang membatasi rasio utang di bawah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu alasan yang membuat Indonesia berada dalam posisi yang relatif aman terkait utang adalah kinerja pemerintahan Presiden Jokowi, terutama dalam menjaga rasio utang di bawah 40 persen dari PDB, menurut Hashim. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (61 persen), Filipina (57 persen), dan Thailand (54 persen). Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kategori “under leveraged,” artinya Indonesia masih memiliki ruang untuk menambah utang tanpa melampaui batas aman.
Menariknya, Hashim menekankan pentingnya transparansi dan pengelolaan yang bijak dalam penarikan utang. Meskipun ada ruang untuk meningkatkan utang, pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan gegabah. Utang akan digunakan secara strategis untuk membiayai program-program prioritas, seperti “Makan Bergizi Gratis,” yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Namun, perlu diingat bahwa dalam konteks ekonomi, utang adalah alat yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, penambahan utang bisa memberikan ruang bagi pemerintah untuk mendanai proyek-proyek penting, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Di sisi lain, penambahan utang yang tidak terkendali bisa membebani anggaran negara di masa depan, terutama jika utang tersebut tidak digunakan secara efektif atau jika suku bunga global meningkat.
Pemerintahan Prabowo-Gibran berencana untuk menambah utang senilai Rp 775,9 triliun pada 2025, yang akan dialokasikan untuk pembiayaan APBN. Sebagian besar utang ini akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Sukuk Negara, dengan tujuan untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik. Dengan ini, utang tidak hanya dipandang sebagai solusi untuk menutupi defisit anggaran, tapi juga sebagai alat kebijakan untuk mendorong likuiditas pasar keuangan.
Utang memang bisa menjadi instrumen yang efektif jika dikelola dengan baik, namun risiko harus tetap diperhatikan. Dalam era globalisasi ekonomi, kebijakan moneter dan fiskal suatu negara sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global. Oleh karena itu, kebijakan utang harus selalu mempertimbangkan faktor eksternal, seperti fluktuasi nilai tukar, tingkat inflasi global, dan kebijakan suku bunga dari bank-bank sentral di negara-negara maju.
Di sinilah pentingnya pendekatan gradual yang dijelaskan Hashim, di mana penambahan utang dilakukan perlahan-lahan dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun. Ini memberi ruang bagi pemerintahan untuk menilai situasi ekonomi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta menyesuaikan kebijakan jika diperlukan.