Tulsi Gabbard, Pilihan Kontroversial untuk Posisi Intelijen AS

Pict by Instagram

Presiden terpilih Donald Trump memilih Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional (DNI). Gabbard, mantan anggota parlemen dari Hawaii, tidak memiliki pengalaman langsung di dunia intelijen. Ia dikenal sebagai kritikus kebijakan luar negeri AS yang dianggapnya terlalu imperialistik.

Sebagai DNI, Gabbard akan memimpin 18 badan intelijen dengan anggaran sekitar $70 miliar. Posisi ini juga menjadikannya penasihat utama presiden dalam urusan intelijen. Namun, untuk menjabat, ia membutuhkan persetujuan Senat yang akan dikuasai Partai Republik pada Januari.

Gabbard dituduh mempromosikan propaganda Rusia, termasuk klaim tentang keberadaan laboratorium biologi di Ukraina. Klaim ini, yang berasal dari disinformasi Moskow, telah dibantah oleh pemerintah Ukraina dan AS. Beberapa tokoh politik, seperti Adam Kinzinger dan Mitt Romney, menuduhnya menyebarkan informasi palsu. Gabbard membantah tuduhan ini dan menganggapnya sebagai upaya pembungkaman terhadap kritikannya.

Dalam pernyataannya, Gabbard menyebut perang di Ukraina bisa dicegah jika kekhawatiran Rusia terkait NATO diakui. Ia juga skeptis terhadap keterlibatan Suriah dalam serangan senjata kimia pada 2017, meskipun badan intelijen internasional menyalahkan rezim Bashar al-Assad.

Gabbard juga dikenal mengkritik kebijakan AS yang mendukung oposisi Suriah. Bahkan, ia sempat bertemu Assad dalam kunjungan kontroversial ke Suriah pada 2017. Langkah ini menuai kecaman dari berbagai pihak.

Selama kariernya, Gabbard menentang intervensi militer AS dan menyebut kebijakan perubahan rezim sebagai penyebab ketidakstabilan global. Dalam debat presiden 2020, ia menyerukan diakhirinya kebijakan ini.

Ia juga menyerukan keringanan hukuman untuk Julian Assange dan Edward Snowden. Gabbard menganggap mereka sebagai pencerah, meskipun pemerintah AS menilai tindakan mereka merugikan keamanan nasional.

Meskipun kini mendukung Trump, Gabbard pernah mengkritiknya keras. Ia tidak setuju dengan kebijakan Trump terkait Iran, dukungannya terhadap Saudi dalam perang Yaman, serta keputusan untuk keluar dari perjanjian nuklir Iran. Pada 2019, Gabbard memilih abstain dalam pemungutan suara pemakzulan Trump. Langkah ini menunjukkan sikapnya yang tidak sepenuhnya mendukung atau menentang Trump.

Gabbard memulai karier politiknya di usia 21 tahun, menjadi anggota termuda parlemen Hawaii. Pada 2022, ia meninggalkan Partai Demokrat dan bergabung dengan Partai Republik. Tulsi Gabbard adalah figur yang kontroversial, dengan pandangan yang sering bertentangan dengan arus utama. Pilihannya sebagai DNI berpotensi menimbulkan perdebatan sengit di Senat dan masyarakat luas.

Populer video

Berita lainnya