Fenomena APWG (Anti Pee Wee Gaskins) menjadi sorotan di awal dekade 2000-an, saat musik emo dan pop-punk sedang booming di Indonesia. Pee Wee Gaskins (PWG) adalah salah satu band yang ikut membawa genre ini ke puncak popularitas, tapi juga memancing banyak kontroversi hingga menciptakan gelombang haters terbesar di skena musik lokal.
PWG, dengan formasi Dochi Sadega, Sansan (eks Killing Me Inside), Ayi Mahardika, Omo, dan Aldy, memainkan musik pop-punk yang terdengar ceria namun berbalut lirik melankolis—terinspirasi dari cerita cinta mereka. Sayangnya, perjalanan mereka tidak mulus. Nama mereka yang sempat melejit diwarnai berbagai isu yang justru memicu kebencian, menciptakan gerakan masif dari para haters yang dikenal dengan sebutan APWG.
APWG tak hanya sekadar menentang PWG, tapi juga sering kali menciptakan kekacauan, terutama saat band ini manggung. Yang unik, di sisi lain, PWG juga memiliki basis penggemar setia bernama Party Dorks yang tak kalah militan. Benturan antara dua kubu ini menjadi pemandangan biasa dalam konser-konser mereka.
Semakin hari, fanatisme APWG semakin liar, bahkan sampai menyerang fisik para personil dan fans PWG. Aksi lempar sandal sudah jadi hal rutin dalam setiap pertunjukan PWG. Insiden paling parah terjadi di Bali, saat Dochi dan kawan-kawan dilempari ember di atas panggung.
Di balik semua drama ini, PWG tetap konsisten berkarya, menunjukkan bahwa musik mereka lebih kuat dari semua kritik dan kebencian yang mereka terima. Fenomena ini juga membuka mata banyak orang bahwa fanatisme, baik positif maupun negatif, bisa menjadi pedang bermata dua dalam dunia musik.