Kontroversi Putusan MA, GRADASI Laporkan Tiga Hakim ke Komisi Yudisial

Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Pict by Wikipedia

Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (GRADASI) melaporkan tiga majelis hakim Mahkamah Agung (MA) ke Komisi Yudisial. Laporan ini diajukan terkait dengan ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah yang dinilai bermasalah.

“Kami menduga putusan ini dibuat dengan tergesa-gesa. Kasus ini masuk ke MA pada 22 April, penunjukan hakim dilakukan pada 27 Mei, dan diputuskan pada 29 Mei. Artinya, Putusan 23 ini diprioritaskan, dan kami mencurigai ketiga hakim ini melanggar prinsip tidak memihak atau bersikap netral,” ujar Ketua GRADASI Abdul Hakim kepada wartawan di gedung KY, Jakarta Pusat, Senin (3/6/2024).

Tiga hakim yang dilaporkan adalah Prof. Dr. Yulius sebagai hakim ketua, serta hakim anggota I Dr. H. Yudi Martono dan hakim anggota II Dr. Cerah Bangun. Abdul menilai putusan ini seolah-olah menunjukkan keberpihakan, sementara praktik di MA biasanya memakan waktu lama.

“Menurut kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), proses biasanya sangat lama, ada yang mencapai 6 bulan bahkan hingga 50 bulan. Namun, kasus ini diputuskan dalam satu bulan lebih, apalagi momennya menjelang Pilkada,” tambah Abdul.

Abdul juga membawa banyak bukti dan dokumen untuk mendukung laporannya. “Ini menambah dan memperluas tafsiran hukum. Kami membawa banyak sekali bukti-bukti dan putusan yang kami serahkan tadi,” ujarnya.

Abdul melihat keputusan ini mengandung unsur politis. Ia mencurigai ada keberpihakan yang menguntungkan beberapa pihak tertentu. “Teman-teman bisa menduga kepada siapa keberpihakan ini mengarah, namun saya tidak ingin menyebutkan karena ingin fokus pada proses hukumnya,” jelas Abdul.

“Karena ini menjelang Pilkada, jika keputusan ini dibuat setelah Pilkada, mungkin kami tidak akan menduga ada kepentingan politik. Tetapi karena diputuskan menjelang Pilkada, yang pendaftarannya pada 27-28 Agustus, maka kami menduga kuat ada kepentingan politik,” lanjutnya.

Abdul berharap Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 ini tidak dilanjutkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia ingin agar hakim MA bisa menjadi contoh yang baik, tidak membuat putusan yang mengandung unsur politis.

“Keputusan ini seharusnya tidak dilanjutkan oleh KPU. Kami berharap para hakim di MA dapat menjadi teladan bagi yang lain, dan tidak membuat keputusan yang mengandung unsur politis,” tegas Abdul.

Menurutnya, proses hukum yang adil dan tidak memihak adalah penting untuk menjaga integritas demokrasi, terutama menjelang momen-momen krusial seperti Pilkada. Laporan ini diharapkan dapat mendorong evaluasi lebih lanjut terhadap proses pengambilan keputusan di MA, khususnya yang berkaitan dengan aturan-aturan penting seperti batas usia minimal calon kepala daerah.

Dengan adanya laporan ini, GRADASI berharap agar masalah ini mendapatkan perhatian serius dari Komisi Yudisial dan menghasilkan tindakan yang sesuai untuk memastikan keadilan dan netralitas dalam proses hukum di Indonesia.