Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita amplop yang diduga digunakan untuk “serangan fajar” oleh Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Amplop tersebut berisi uang Rp50 ribu dan bergambar pasangan Rohidin-Meriani. Barang bukti ini disampaikan KPK dalam konferensi pers penahanan Rohidin pada Minggu (24/11) malam.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, membenarkan amplop tersebut diduga digunakan untuk “serangan fajar” dalam Pilgub Bengkulu 2024. Namun, KPK masih memverifikasi fisik uang tersebut. “Isi nominal menurut saksi Rp50.000, tetapi masih perlu dicek,” ujar Tessa pada Senin (25/11).
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar di Bengkulu pada Sabtu (23/11), tim KPK menyita uang senilai Rp7 miliar. Uang tersebut terdiri dari pecahan rupiah, dolar Amerika, dan dolar Singapura. Uang ini diduga untuk keperluan kampanye Rohidin yang kembali mencalonkan diri sebagai gubernur Bengkulu.
Selain uang, KPK juga menyita barang bukti elektronik berupa handphone dan sejumlah dokumen. Pasangan Rohidin-Meriani akan berhadapan dengan Helmi Hasan-Mi’an dalam Pilgub Bengkulu 2024. Helmi Hasan diketahui merupakan adik dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan.
Rohidin bersama dua tersangka lain, Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri dan ajudan gubernur Evriansyah alias Anca, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi. Ketiganya ditahan selama 20 hari pertama hingga 13 Desember 2024 di Rutan Cabang KPK.
KPK menjerat para tersangka dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 KUHP. Selain itu, lima orang lainnya yang sempat ditangkap telah dibebaskan karena status mereka sebagai saksi.
Kelima saksi tersebut adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Bengkulu, Syarifudin; Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bengkulu, Syafriandi; Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bengkulu, Saidirman; Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Bengkulu, Ferry Ernest Parera; serta Kepala Dinas PUPR Bengkulu, Tejo Suroso.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama terkait dugaan penggunaan dana publik untuk kepentingan politik pribadi. KPK terus mengembangkan kasus ini, termasuk mengecek komunikasi terkait dugaan pemenangan pasangan calon tertentu.