Polisi berhasil mengungkap tiga orang yang diduga sebagai pengendali jaringan judi online yang melibatkan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pengungkapan ini terjadi setelah penangkapan 15 orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Ruko di kawasan Rose Garden, Bekasi, yang diduga menjadi kantor satelit operasi judi online ini, turut digeledah pada 1 November lalu.
Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra, menjelaskan bahwa kantor tersebut dikendalikan oleh tiga tersangka berinisial AK, AJ, dan A. Di kantor itu, 12 orang pegawai bekerja sebagai operator dan admin yang bertugas mengumpulkan daftar situs judi online. Tugas mereka terbilang spesifik, yakni memilah situs yang akan diblokir atau tetap aktif, tergantung pada jumlah uang yang disetorkan pemilik situs kepada kelompok ini.
Sosok AK yang menarik perhatian publik ternyata pernah mengikuti seleksi tenaga pendukung teknis di Komdigi pada 2023. Namun, meskipun gagal lolos seleksi, ia tetap bekerja di Komdigi dengan wewenang mengatur pemblokiran situs judi online. Wira mengungkapkan bahwa polisi masih mendalami bagaimana AK bisa memperoleh posisi strategis ini. Kewenangan AK memungkinkan ia mengatur situs mana yang perlu diblokir atau tidak, seolah memegang kendali langsung atas jaringan situs judi online tersebut.
Sejumlah situs judi online yang ingin tetap beroperasi di Indonesia diharuskan membayar setiap dua minggu untuk menghindari pemblokiran. Setelah daftar situs bersih dari nama-nama yang telah menyetor uang, AK menyerahkannya kepada pelaku lain, yakni R, untuk melakukan pemblokiran pada situs yang tidak membayar. Hal ini membuat kelompok ini seolah menjadi otoritas bayangan dalam mengatur lalu lintas situs judi di Indonesia.
Kasus ini mengungkap celah sistem keamanan dan seleksi di kementerian yang seharusnya bertanggung jawab atas pengawasan konten internet. Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana AK, yang tidak lolos seleksi, bisa mendapat akses dan wewenang dalam mengendalikan proses pemblokiran konten. Polisi kini menelusuri pihak yang memungkinkan AK bekerja di Komdigi, meskipun gagal dalam seleksi resmi. Apakah ada intervensi dari pihak internal kementerian? Jika benar, ini menunjukkan adanya kelemahan di tingkat seleksi pegawai dan pengawasan di Komdigi.
Selain soal integritas, kasus ini menyiratkan betapa besarnya pengaruh uang dalam memengaruhi pihak-pihak yang seharusnya menegakkan aturan. Modus pemblokiran yang ditawarkan dengan biaya tertentu tak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga menunjukkan bagaimana kepercayaan publik terhadap kementerian terkait dapat terancam.
Di tengah pengungkapan ini, publik menantikan hasil penyelidikan lanjutan, termasuk penelusuran asal muasal AK di kementerian. Kasus ini diharapkan bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem rekrutmen dan pengawasan di lembaga-lembaga yang memiliki wewenang tinggi atas informasi publik di era digital ini.