Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, adalah sistem tulisan tradisional yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia seperti bahasa Sunda, Madura, dan Bali. Aksara Jawa memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, dan hingga saat ini masih digunakan dalam beberapa konteks, terutama dalam seni dan budaya tradisional.
Sejarah dan Filosofi
Aksara Jawa memiliki sejarah panjang yang bermula pada abad ke-4 Masehi dengan pengaruh kuat dari sistem tulisan Brahmi kuno yang datang dari India. Sistem tulisan ini kemudian berkembang di Pulau Jawa dan disesuaikan dengan fonologi bahasa Jawa. Aksara Jawa mencapai puncak popularitasnya pada masa keemasan Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-8 hingga ke-10. Selama periode ini, sastra Jawa seperti kakawin (puisi epik) dan kidung (puisi lirik) ditulis dengan menggunakan aksara Jawa.
Dalam filosofi yang terkandung dalam aksara Jawa tentang pertempuran dua orang utusan yang akhirnya keduanya tewas, setiap huruf aksara Jawa memiliki makna simbolis yang mendalam. Berikut ini adalah penafsiran filosofis dari aksara Jawa:
- Ha Na Ca Ra Ka (ꦲ ꦤ ꦕ ꦫ ꦏ): Ini menggambarkan adanya utusan yang datang. Dalam konteks legenda yang disebutkan, utusan tersebut bisa merujuk kepada Dora dan Sembada, dua rekannya yang menjadi utusan Prabu Aji Saka dalam upaya mereka menjadi raja di Nusantara.
- Da Ta Sa Wa La (ꦢ ꦠ ꦱ ꦮ ꦭ): Huruf-huruf ini menggambarkan adanya pertengkaran atau pertarungan antara kedua utusan tersebut. Konflik atau pertarungan ini mungkin muncul sebagai bagian dari perjalanan mereka atau mungkin terjadi di Pulau Majeti seperti yang disebutkan dalam legenda.
- Pa Dha Ja Ya Nya (ꦥ ꦝ ꦗ ꦪ ꦚ): Huruf-huruf ini melambangkan bahwa keduanya sama-sama kuat. Ini mungkin merujuk kepada kekuatan atau kemampuan yang dimiliki oleh Dora dan Sembada yang membuat pertarungan di antara mereka menjadi sengit dan berkepanjangan.
- Ma Ga Ba Tha Nga (ꦩ ꦒ ꦧ ꦠ ꦄ): Huruf-huruf ini menggambarkan akhir dari pertarungan tersebut, di mana akhirnya keduanya tewas dan hanya tersisa bangkai. Ini mencerminkan akhir tragis dari pertarungan antara Dora dan Sembada dalam legenda tersebut.
Filosofi yang terkandung dalam aksara Jawa ini dapat diinterpretasikan sebagai pengingat akan konsekuensi dari pertengkaran, persaingan, dan konflik yang tidak sehat. Meskipun pada awalnya mungkin terdapat kekuatan dan kemampuan di antara kedua belah pihak, namun pertarungan yang terus-menerus dapat berujung pada kerugian dan kehancuran bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, pesan yang terkandung dalam filosofi ini adalah tentang pentingnya penyelesaian damai dan penyelesaian konflik dengan cara yang bijaksana dan bermartabat.
Sandangan Swara
Selain huruf atau aksara dasar, berikut tambahan berupa Sandangan Swara, yaitu
- Wulu adalah tanda untuk mengubah suara huruf menjadi [i], seperti pada contoh kata “mili” yang berarti mengalir, misalnya: ꦩꦶꦭꦶ
- Taling adalah tanda untuk mengubah suara huruf menjadi [é], seperti pada contoh kata “ngece” yang berarti mengejek, misalnya: ꦔꦺꦕꦺ
- Pepet adalah tanda untuk mengubah suara huruf menjadi [e], seperti pada contoh kata “teka” yang berarti datang, misalnya: ꦠꦺꦏ
- Suku adalah tanda untuk mengubah suara huruf menjadi [u], seperti pada contoh kata “tuku” yang berarti beli, misalnya: ꦠꦸꦏꦸ
- Taling tarung adalah tanda untuk mengubah suara huruf menjadi [o], seperti pada contoh kata “coro” yang berarti kecoak, misalnya: ꦕꦺꦴꦫꦺꦴ
Sandangan Sigeg
Sandangan sigeg digunakan untuk mengubah bunyi aksara agar mendapatkan bunyi konsonan tertentu. Sandangan ini terdiri atas tiga jenis utama:
- Wignyan (ꦃ): Digunakan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat bunyi konsonan [h], misalnya pada kata “pah”, contohnya: ꦥꦃ
- Layar (ꦂ): Digunakan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat bunyi konsonan [r], seperti pada kata “tar”, contohnya: ꦠꦂ
- Cecak (ꦁ): Digunakan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat bunyi konsonan [ng], contohnya pada kata “tang”, misalnya: ꦠꦁ
Sandangan Anuswara
Sandangan anuswara digunakan untuk mengubah bunyi aksara agar muncul peluluhan bunyi konsonan tertentu. Jenis sandangan ini meliputi:
- Péngkal (ꦾ): Mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [y], misalnya pada kata “tya”, contohnya: ꦠꦾ
- Cakra (ꦿ): Digunakan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [r], seperti pada kata “bra”, contohnya: ꦧꦿ
- Gembung (꧀ꦮ): Mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [w], contohnya pada kata “kwa”, misalnya: ꦏ꧀ꦮ
Sandangan Pangku
Sandangan pangku atau pangkon digunakan khusus untuk mematikan kata atau mengakhiri kalimat. Berbeda dengan pasangan yang ditulis di tengah kata atau kalimat, sandangan pangkon ini hanya digunakan di akhir kalimat. Hal ini dilakukan untuk menghindari penulisan bertumpuk dua tingkat di akhir kalimat. Contoh penggunaan pangkon pada kata “mas”: ꦗꦱ꧀
Penggunaan Modern
Angka dalam aksara Jawa disebut “angka aksara” atau “aksara bilangan”. Sistem penomoran ini digunakan dalam penulisan angka dalam bahasa Jawa dan aksara Jawa. Angka aksara Jawa memiliki simbol khusus yang berbeda dari sistem angka Arab atau Latin yang umum digunakan. Berikut adalah tabel angka aksara Jawa dari 1 hingga 10:
- ꧑
- ꧒
- ꧓
- ꧔
- ꧕
- ꧖
- ꧗
- ꧘
- ꧙
- (1+0) ꧑꧐
Penggunaan Modern
Meskipun penggunaan aksara Jawa telah menurun secara signifikan seiring dengan munculnya alfabet Latin yang lebih umum digunakan dalam konteks modern, aksara Jawa tetap menjadi bagian penting dari budaya Jawa. Sastra klasik Jawa, wayang kulit, seni rupa, dan berbagai upacara keagamaan masih sering menggunakan aksara Jawa. Selain itu, beberapa upaya telah dilakukan untuk memperkenalkan aksara Jawa ke dalam konteks digital dengan pengembangan font dan aplikasi yang mendukung penggunaan aksara Jawa dalam komputer dan perangkat seluler.
Aksara Jawa adalah warisan budaya yang kaya dan berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Meskipun penggunaannya telah menurun, upaya untuk memelihara dan mempromosikan aksara Jawa tetap penting untuk mempertahankan identitas budaya yang kaya dan beragam di Indonesia. Dengan upaya ini, harapannya aksara Jawa dapat tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.