Industri gula Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama dalam ketergantungan pada impor. Meskipun pemerintah telah berambisi untuk mencapai swasembada gula, kenyataannya masih jauh dari harapan. Dulu, Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada era 1930-an, namun sejak tahun 1967, negara ini mulai mengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Pada 2023, Indonesia bahkan tercatat sebagai importir gula terbesar di dunia, dengan lebih dari 5 juta ton gula yang diimpor.
Kondisi ini terjadi meskipun luas lahan tebu Indonesia terus bertambah, mencapai lebih dari 500 ribu hektare pada 2023. Namun, produktivitas tebu dan rendemen gula yang rendah menjadi masalah utama. Sementara itu, pola konsumsi gula masyarakat terus meningkat seiring perubahan gaya hidup. Konsumsi gula per kapita meningkat drastis, dan proyeksi untuk 2024 menunjukkan bahwa setiap orang akan mengonsumsi lebih dari 32 kg gula per tahun.
Untuk mencapai swasembada, pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu dan perluasan lahan. Namun, beberapa pengamat meragukan keberhasilan target ini karena rendahnya efisiensi pabrik gula yang ada dan masalah dalam sistem pembelian tebu. Khudori, seorang pengamat pertanian, mencatat bahwa meskipun ada rencana pembangunan pabrik baru, perbaikan produktivitas di pabrik yang sudah ada lebih mendesak.
Ke depan, untuk mengatasi ketergantungan impor, penting untuk fokus pada intensifikasi pertanian, peningkatan teknologi, dan revitalisasi pabrik gula yang ada. Jika langkah-langkah ini diterapkan, Indonesia bisa kembali meraih kejayaan industri gula, meski tantangan yang ada sangat besar.