Menjelang Pemilu Amerika Serikat, Korea Utara kembali menegaskan keberadaannya di panggung internasional dengan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-18. Dilaporkan oleh militer Korea Selatan, uji coba itu dilakukan pada Selasa pagi, dan menjadi yang kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Peluncuran ini terdeteksi sebagai sejumlah rudal balistik jarak pendek yang ditembakkan ke arah timur, melintasi perairan Semenanjung Korea sejauh 400 kilometer dari titik peluncuran.
Tindakan ini jelas meningkatkan ketegangan, terutama di tengah hubungan panas antara Korea Utara dan sekutu AS, Jepang, serta Korea Selatan, yang baru saja menggelar latihan militer gabungan. Latihan itu, menurut Pyongyang, dianggap sebagai ancaman invasi, yang mendorong mereka untuk bereaksi dengan aksi yang disebut sebagai “tindakan mendesak.”
Dalam pernyataannya, Pemerintah Jepang, melalui juru bicara Yoshimasa Hayashi, menyebut uji coba ini sebagai ancaman serius terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan. AS dan Jepang menilai aksi ini bukan hanya provokasi, tetapi langkah strategis yang memerlukan perhatian lebih. Pihak Korea Selatan pun meningkatkan pengawasan dan kewaspadaan untuk mengantisipasi kemungkinan peluncuran rudal tambahan dari Pyongyang.
Korea Utara, melalui media pemerintah KCNA, menyatakan bahwa uji coba ini adalah “bukti mutlak validasi dan urgensi” dari kebijakan pembangunan kekuatan nuklir yang telah mereka tetapkan. Bagi Pyongyang, penguatan pertahanan nuklir adalah jalan mutlak untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara mereka.
Jika dilihat lebih luas, aksi-aksi Korea Utara ini tampaknya bagian dari strategi diplomasi yang kontroversial. Menunjukkan kekuatan militer saat momen politik penting seperti Pemilu AS, mungkin ditujukan untuk mengirimkan pesan kepada dunia, khususnya negara-negara yang dianggap sebagai ancaman. Ini juga memberi sinyal kepada pemerintahan AS mendatang untuk mempertimbangkan ulang kebijakan terhadap Korea Utara, terutama dalam hal nuklir dan sanksi ekonomi.