Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Thomas Lembong, eks Menteri Perdagangan 2015-2016, memunculkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian ini berasal dari keuntungan besar yang diraih delapan perusahaan swasta atas kebijakan impor gula yang disebut tidak melalui mekanisme dan rekomendasi yang sesuai. Thomas Lembong ditetapkan sebagai tersangka karena mengeluarkan izin impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP, meskipun pada tahun 2015 Indonesia mengalami surplus gula.
Impor gula ini tidak disertai koordinasi dengan kementerian terkait maupun rekomendasi dari Kementerian Perindustrian yang seharusnya menjadi syarat utama. Pada 28 Desember 2015, rakor di bawah Kemenko Perekonomian menyatakan Indonesia membutuhkan tambahan 200.000 ton gula kristal putih (GKP) demi stabilisasi harga gula dan memastikan pasokan nasional. Akan tetapi, justru izin impor diberikan kepada delapan perusahaan swasta untuk mengolah gula mentah menjadi GKP, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai BUMN, hanya bertindak sebagai fasilitator.
Pada Januari 2016, Thomas Lembong mengeluarkan surat penugasan untuk PT PPI memenuhi kebutuhan gula nasional melalui kemitraan dengan produsen gula lokal yang mengimpor GKM, bukan GKP seperti yang diinstruksikan. Pengolahan dan distribusi gula pun dilakukan oleh delapan perusahaan swasta ini, bukan PT PPI sebagai BUMN, yang seharusnya memiliki kewenangan utama atas impor tersebut.
Kerugian negara muncul karena delapan perusahaan swasta ini menjual gula ke masyarakat dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Rp 13.000 per kilogram, yakni hingga Rp 16.000 per kilogram. PT PPI, yang berperan sebagai perantara, mendapatkan imbalan (fee) sebesar Rp 105 per kilogram dari hasil impor gula mentah yang diolah menjadi gula kristal putih. Alhasil, keuntungan dari perbedaan harga ini menjadi salah satu unsur hitungan kerugian negara, karena keuntungan yang diraup seharusnya masuk ke kas negara melalui BUMN.
Dalam kasus ini terlihat betapa besar dampak buruknya ketika pengawasan prosedur diabaikan. Regulasi yang melibatkan BUMN dalam kegiatan impor seharusnya menjamin keuntungan masuk ke kas negara, alih-alih jatuh ke pihak swasta yang hanya menjalin kerja sama dengan BUMN sebagai formalitas. Masalah aliran dana yang terkait dengan keuntungan dari transaksi ini sedang didalami oleh Kejaksaan Agung, apakah mengalir ke pihak-pihak tertentu atau terbagi antar perusahaan.
Kasus ini menggambarkan kompleksitas mekanisme impor yang dapat dieksploitasi. Jika kelalaian prosedural dan lemahnya koordinasi seperti ini terus berlangsung, potensi kerugian negara dalam jangka panjang bisa mencapai nilai yang lebih besar dari Rp 400 miliar yang terungkap saat ini.