Perdebatan soal asal-usul cendol memang nggak pernah sepi dari perbincangan. Awalnya, Singapura mengklaim cendol sebagai makanan tradisional mereka, bahkan di tahun 2018, cendol masuk dalam daftar 50 Hidangan Penutup Terbaik di Dunia dengan Singapura disebut sebagai tempat asalnya. Hal ini langsung memicu perdebatan, terutama dari Malaysia dan Indonesia. Padahal, cendol dengan segala kesegarannya juga sudah menjadi hidangan yang akrab di kedua negara tersebut.
Cendol sebenarnya terdiri dari komposisi sederhana: santan, gula merah cair, dan bulir jelly hijau yang terbuat dari tepung beras. Namun, variasi cendol di tiap negara memang sedikit berbeda. Misalnya, cendol khas Singapura kerap ditambahkan kacang merah, yang menurut orang Malaysia juga merupakan bagian dari cendol versi mereka. Di Indonesia, beberapa daerah menyebut cendol sebagai ‘dawet’, seperti yang ditemukan di Jawa.
Sejarah panjang cendol sebenarnya sudah terlacak jauh ke belakang. William Wongso, pakar kuliner Indonesia, menyebut bahwa dawet atau cendol sudah ada sejak 300-400 tahun yang lalu dan tertulis dalam naskah Centhini. Bahkan, Fadly Rahman, seorang ahli sejarah, mengatakan bahwa asal mula cendol bisa dilacak hingga abad ke-12 lewat naskah ‘Kakawin Kresnayana’ yang berasal dari Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Menariknya, kata “cendol” sendiri dalam bahasa Jawa kuno berarti ‘bengkak’, merujuk pada bentuk bulir hijau yang membengkak saat dimasak.
Perdebatan ini terus berlangsung hingga hari ini, membuat kita berpikir bahwa makanan tradisional bukan hanya soal rasa, tapi juga bagian dari identitas budaya yang sangat lekat. Mungkin, daripada saling mengklaim, lebih baik kita merayakan cendol sebagai warisan bersama Asia Tenggara yang kaya dan penuh sejarah.