Pada Selasa (1/10/2024), Iran melancarkan serangan rudal besar-besaran ke Israel. Serangan ini terjadi hanya beberapa jam setelah peringatan dari pejabat Gedung Putih tentang rencana Teheran yang akan segera menyerang. Beberapa rudal berhasil diintersepsi di langit Yerusalem, sementara lainnya terus menuju wilayah pesisir dan tengah Israel. Di tengah serangan ini, ledakan terdengar dari kejauhan, dengan warga Yerusalem menyaksikan rudal terbang di atas mereka.
Sekitar sepuluh menit kemudian, gelombang kedua rudal melintasi kota, kali ini dari arah yang berbeda. Kilatan terang di langit dan suara ledakan besar menandai upaya intersepsi rudal tersebut. Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Daniel Hagari, melaporkan bahwa Iran menembakkan sekitar 200 roket, tetapi tidak ada laporan korban cedera di darat. Meski tidak ada ancaman langsung setelah serangan ini, Israel tetap bersiaga penuh.
Serangan ini dipandang sebagai balasan Iran atas serangan Israel terhadap milisi yang didukung Teheran, termasuk Hizbullah. Sebelumnya, pada April, Iran meluncurkan serangan dengan drone, rudal jelajah, dan rudal balistik ke Israel. Dari serangan tersebut, sebagian besar berhasil dicegat sebelum mencapai target.
Sebelum serangan ini, Gedung Putih sudah memperingatkan tentang rencana Iran melancarkan serangan rudal balistik ke Israel. Pejabat AS juga menyatakan dukungannya untuk mempertahankan Israel. Israel pun bersiaga penuh dengan persiapan defensif dan ofensif yang telah disiapkan.
Serangan rudal Iran ini meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut dan memicu kekhawatiran akan pecahnya perang antara Israel dan Iran. Pada Selasa malam, Kedutaan Besar AS di Yerusalem menginstruksikan seluruh pegawai dan keluarganya untuk berlindung. Peringatan ini juga disampaikan kepada warga AS di Israel, mengingat insiden keamanan sering terjadi secara tiba-tiba.
Sementara itu, Israel melancarkan serangan darat ke Lebanon selatan, yang disebut Operasi Panah Utara, pada Senin malam. Serangan ini adalah operasi besar pertama Israel di Lebanon sejak 2006. Sekitar 30 desa di Lebanon selatan dievakuasi oleh otoritas Israel. Namun, alasan di balik evakuasi ini belum jelas.
Tim penyelamat Lebanon melaporkan telah menemukan 25 jenazah dan menyelamatkan 13 korban luka sejak serangan Israel dimulai. Lebih dari 600 orang mencari perlindungan di sebuah biara di kota Rmeish, dekat perbatasan.
Perdana Menteri Lebanon, Najib Mikati, menyebut situasi ini sebagai fase paling berbahaya dalam sejarah Lebanon. Sekitar 1 juta orang telah mengungsi akibat perang ini. Menteri Luar Negeri Inggris menyerukan gencatan senjata, mengingat dampak perang ini bisa meluas ke seluruh Timur Tengah dan memengaruhi ekonomi global.
Meski ada upaya diplomatik, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya tetap memilih tindakan militer terhadap Hizbullah. Serangan Israel di Beirut juga menewaskan Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, yang memicu kekhawatiran akan eskalasi konflik di Timur Tengah.