Rangkaian peringatan 25 tahun meninggalnya Romo YB Mangunwijaya kembali digelar Ikafite (Ikatan Alumni Filsafat dan Teologi) Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, Minggu (25/8). Salah satu agendanya sarasehan mengenang hidup dan karya Romo Mangun di aula Paroki Yohanes Rasul Pringwulung. Sarasehan yang digagas untuk mengerucutkan gerakan mengusulkan Romo Mangun menjadi pahlawan nasional ini diikuti 77 Sahabat Mangun lintas iman.
Apa saja pemikiran dan tindakan Romo Mangun yang membuatnya layak menjadi pahlawan nasional? Apa pula relevansi kepahlawanannya untuk Indonesia kini dan ke depan?
Dua pertanyaan itu membingkai sarasehan yang dipandu AA Kunto A. Ada beberapa narasumber yang diundang untuk menghadirkan pengalaman perjumpaan dan perjuangan bersama Romo Mangun. Ada yang mewakili Komunitas Code, Grigak, dan Kedungombo. Ada yang mengupas karya sastra Romo Mangun. Ada pula yang mengisahkan kemanusiaan Romo Mangun yang melampaui sekat agama. Kunarwoko, panitia dari Ikafite, mengajak merefleksikan apa yang pernah dikatakan Romo Mangun, “Kita harus berpihak pada orang kecil, sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus sendiri.”
Slamet membuka cerita. Ia mewakili warga Code yang ketika masih duduk di bangku sekolah dasar mengalami langsung kehadiran Romo Mangun di sisi selatan jembatan Gondolayu, tak sampai 500 meter sisi timur Tugu Yogyakarta. Slamet ingat bagaimana sosok Romo Mangun hadir bukan sebagai pastor. Romo Mangun hadir membangun dua rumah. Rumah pertama disebut rumah kereta. Bentuknya memanjang lalu disekat-sekat. “Dengan rumah itu kami bisa berteduh dan belajar. Rumah kami sebelumnya bocor kalau hujan,” ujar Slamet.
Rumah kedua berupa balai serba guna. Menurut Slamet, kehadiran balai pertemuan itu mengubah kehidupan sosial mereka. Sejak itu mereka mengenal istilah rembug kampung. Pemerintah pun mulai mengakui keberadaan kampung mereka. Slamet ingat, sebelum kemudian kawasan itu dimasukkan ke Kelurahan Kotabaru, Code adalah RT 127A di Kelurahan Terban. “Dulu kami dilirik pun tidak. Setelah ditata Romo Mangun, kami jadi rebutan,” tukas Slamet mengisahkan perpindahan status administratif kampungnya.
Kampung Code masih eksis hingga sekarang. Bukan hanya tertata dan bersih, kampung itu juga terawat. Imbuh Slamet, beberapa rumah di sana dikategorikan sebagai cagar budaya lokal oleh warga setempat. Artinya, bila ada kerusakan, rumah itu hanya boleh diperbaiki dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Dari tepi sungai di tengah kota, kisah bergeser jauh ke tepi laut di pantai selatan Gunungkidul. Tepatnya di Grigak Romo Mangun punya karya monumental di sana, yakni proyek pengadaan air minum bagi warga setempat. Kornelis, mahasiswa USD yang sedang terlibat dalam pendampingan masyarakat Grigak bercerita bagaimana Romo Mangun tinggal di sana selama empat tahun, membangun jembatan ke sumber air, bahkan membangun masjid, yang kesemua lahan empat hektar diberikan kepada masyarakat setempat. Grigak, dalam novel “Burung-Burung Manyar” juga digambarkan sebagai fase spiritual Romo Mangun membangun sarang, menyepi, menghadap ke laut yang menyimbolkan ketidakpastian, yang kemudian mengasah keberpihakan kemanusiaannya.
Itulah Romo Mangun. Ia hadir di tengah masyarakat yang kesulitan. Yang terpinggir diusung ke tengah. Yang dahaga dicarikannya air. Yang ditenggelamkan diselamatkan. Seperti di Kedungombo, kisah Wilhem, “Di Hari Minggu, ketika yang lain memilih menepi untuk pergi ke Gereja, Romo Mangun memutuskan untuk melajukan perahu karetnya ke tengah. Untuk mereka semestinya Gereja hadir, kata Romo Mangun sambil menunjuk perkampungan dan pemakaman yang sudah digenangi air.”
Romo Mangun Humanis yang Sangat Nasionalis
Atas pilihan sulit itu, dosen sastra USD Yosep Yapi Taum yang menyebut telah membaca hampir semua karya Romo Mangun, mengungkap sisi lain Romo Mangun yang karya tulisnya tak kalah rumit dipahami dibandingkan dengan aksi lapangannya. “Romo Mangun itu seorang humanis yang selalu memanusiakan manusia lain. Ia sangat layak menjadi pahlawan nasional. Romo Mangun berkeyakinan, seseorang pantas disebut nasional jika ia memberikan semangat kemanusiaan,” ujar Yapi mengulas novel Durga Umayi dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Huma Romo Mangun.
Listya Suprobo, Gusdurian, menimpali pemikiran Yapi dengan menceritakan bagaimana perjumpaan pribadinya dengan Romo Mangun. Pula, bagaimana persahabatan Romo Mangun dengan Gus Dur dan Ibu Gedong Oka yang melampaui sekat agama. Menurutnya, Romo Mangun telah mengajarkan bagaimana membongkar agama dari dogma yang menjebak. Romo Mangun melawan politik agama untuk sekadar memperkuat kekuasaan. Listya menyaksikan bagaimana Romo Mangun menghidupkan agama justru dalam relasi kemanusiaan yang riil. Romo Mangun mengajak kita keluar dari institusionalisasi agama lewat pernyataannya, “Orang bisa beriman tanpa agama.” Oleh Murti, dosen yang pernah jadi relawan, “Romo Mangun mengenalkan apa yang disebut komunikasi hati.”
Dari semua itu, mereka sepakat pada beberapa hal mengenai Romo Mangun. Pertama, Romo Mangun seorang yang jujur, disiplin, dan tegas. Ia mendampingi masyarakat tanpa membeda-bedakan. Ia memberi contoh, bekerja bersama, bukan hanya berkata-kata. Nilai tanggung jawab ia badankan dengan kerja tangan.
Kedua, Romo Mangun selalu berpikir tentang masa depan. Ia menggagas masyarakat Pasca-Indonesia, yakni Indonesia dengan pembaruan identitas yang inklusif, multikultural, dan tidak terpaku pada narasi nasionalisme yang beku.
Romo Mangun dalam Tinjauan Teologi Moral
Merangkum sarasehan ini, Romo Mateus Mali, CSsR, teolog moral USD, menegaskan beberapa hal yang menempatkan Romo Mangun layak menjadi pahlawan nasional:
Pertama, Romo Mangun pejuang kemanusiaan sejati. Prinsip humanismenya sangat kuat. Ia menghargai setiap orang menurut harkat dan martabatnya. Moralitasnya ada pada perjuangan pada nilai-nilai moral, yakni mencintai sesama, terlebih memperjuangan keadilan orang miskin.
Kedua, konsep teologinya berangkat dari teks ke konteks. Ia memahami konsep Gereja lewat apa yang tampak dalam realitas hidup. Setelah itu baru berteologi dan mengaplikasikannya dalam hidup.
Ketiga, Romo Mangun membongkar eklesiologi sempit yang sekira 1.700 tahun membelenggu Gereja. Gereja yang cenderung berkutat di kalangan atas oleh Romo Mangun dibumikan menjadi Gereja yang menjangkau orang kecil. Sebagai imam, semangatnya melayani.
Keempat, Romo Mangun mengkritik pemahaman agama yang cenderung spekulatif. Ia memisahkan beragama dan beriman. Baginya, beriman tidak bisa hanya teoretik. Beriman mesti praksis.
Menurut Romo Mali, setinggi ini standar moral Romo Mangun, “Ia tidak pernah mengemis untuk orang miskin. Ia berjuang bersama orang miskin. Baginya, berteologi berarti bersolidaritas. Seruan option for the poor berarti menujukkan solidaritas kita pada orang miskin, bersatu dengan mereka, memperjuangkan hak-hak mereka dan berusaha keluar dari belenggu situasi hidup yang mencekam.”(*)