Cuti merupakan salah satu kebijakan perusahaan yang bermanfaat bagi karyawan. Di Indonesia, misalnya, ada berbagai jenis cuti seperti cuti tahunan, cuti karena kematian keluarga, pernikahan, sakit, serta cuti berbayar. Pekerja perempuan juga mendapatkan cuti menstruasi satu hari setiap bulannya. Namun, sebuah perusahaan di China memperkenalkan kebijakan cuti yang unik.
Menurut laporan The Economic Times, sebuah perusahaan ritel bernama Pang Dong Lai mengadopsi kebijakan yang disebut “unhappy leave” atau cuti tidak bahagia. Kebijakan ini memungkinkan karyawan yang sedang mengalami kondisi mental dan emosional yang tidak stabil untuk mengambil cuti sementara. Karyawan dapat mengambil cuti ini hingga durasi 10 hari.
Kebijakan ini diumumkan secara resmi oleh pendiri perusahaan, Yu Donglai, pada April lalu. “Saya ingin setiap karyawan memiliki kebebasan. Setiap orang pasti pernah merasa tidak bahagia, jadi kalau tidak bahagia, jangan masuk kerja,” ujar Donglai, seperti dikutip dari South China Morning Post. Kebijakan ini dirancang untuk membantu karyawan menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi mereka. Donglai ingin memastikan bahwa karyawan memiliki kebebasan untuk beristirahat kapan pun mereka merasa perlu dan mendapatkan waktu yang cukup untuk itu. Manajemen perusahaan juga tidak diperkenankan menolak pengajuan cuti ini.
Kebijakan cuti tidak bahagia ini sejalan dengan tren kerja panjang yang sering terjadi di banyak perusahaan di China. Menurut laporan South China Morning Post tahun 2021, lebih dari 65 persen karyawan di China merasa lelah dan tidak bahagia di tempat kerja. Gaji rendah, hubungan yang rumit dengan rekan kerja, dan budaya kerja lembur yang hampir setiap hari dilaporkan menjadi sumber utama stres dan emosi negatif di tempat kerja. Fenomena inilah yang membuat kebijakan baru di perusahaan Donglai mendapatkan respons positif dari banyak pekerja di sana.
Dengan mengadopsi kebijakan ini, Pang Dong Lai menunjukkan komitmen nyata terhadap kesejahteraan mental karyawan, memberikan contoh bagi perusahaan lain tentang pentingnya memperhatikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Kebijakan “unhappy leave” ini bukan hanya membantu karyawan yang sedang menghadapi masalah mental, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif dan empatik.