Bulan Dzulhijjah tidak hanya dikenal sebagai waktu untuk merayakan hari raya kurban dan pelaksanaan ibadah haji. Memasuki sepuluh hari pertama bulan tersebut, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, seperti memperbanyak dzikir, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan berbagai amalan sunnah lainnya. Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan adalah puasa sunnah dari tanggal satu sampai sembilan Dzulhijjah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هٰذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
Artinya: “Tidak ada hari di mana amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: ‘Tidak juga jihad fi sabilillah?’ Beliau menjawab: ‘Jihad fi sabilillah juga tidak, kecuali seseorang yang keluar dengan diri dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan satu pun dari keduanya.’”
Hadits ini menekankan pentingnya memperbanyak amal ibadah selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, bertasbih, bersilaturahmi, dan berpuasa. Ibnu Hajar (w. 1449 M) dalam Fath al-Bârî menjelaskan bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama ini karena terkumpulnya ibadah-ibadah utama, yaitu shalat, puasa, sedekah, dan haji. Ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di bulan lain (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz 3, h. 390).
Syekh Zakaria al-Anshari (w. 1520 M) dalam Asnâ al-Mathâlib menjelaskan lebih lanjut bahwa dari tanggal satu sampai sembilan Dzulhijjah, disunnahkan untuk berpuasa. Puasa dari tanggal satu sampai tujuh dianjurkan baik bagi yang menunaikan ibadah haji maupun yang tidak. Sedangkan pada tanggal delapan (hari Tarwiyah) dan sembilan (hari Arafah), puasa hanya dianjurkan bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
Menurut Imam An-Nawawi, berpuasa bagi yang sedang menunaikan ibadah haji pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah hukumnya khilâful aulâ (menyalahi yang lebih utama), bahkan makruh. Alasan utamanya, menurut Al-Anshari, adalah karena para jamaah haji lebih dianjurkan untuk memperbanyak doa pada hari-hari tersebut, meskipun mereka kuat untuk berpuasa. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ (ittibâ’). (Asnâ al-Mathâlib Syarhu Raudhah al-Thâlib).
Waktu Pelaksanaan Puasa Sunnah Dzulhijjah
Puasa sunnah Dzulhijjah dilaksanakan pada tanggal satu hingga sembilan Dzulhijjah. Khususnya, puasa pada tanggal delapan disebut puasa Tarwiyah, dan pada tanggal sembilan disebut puasa Arafah. Durasi puasanya sama seperti puasa pada umumnya, yaitu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Selama periode ini, seseorang harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana puasa-puasa lainnya.
Bagi yang memiliki utang puasa Ramadhan, diperbolehkan untuk mengqadha (mengganti) puasa tersebut bersamaan dengan puasa sunnah Dzulhijjah. Bahkan, menurut Sayyid Bakri Syatha (w. 1892 M.), mengutip fatwa Al-Barizi, jika seseorang berniat hanya untuk qadha, maka ia tetap mendapatkan pahala keduanya. Misalnya, jika seseorang melakukan puasa qadha Ramadhan pada hari Arafah dengan niat qadha saja, secara otomatis juga memperoleh kesunnahan puasa Arafah (Sayid Bakri, Hâsyiyah I’ânah at-Thaâlibîn, juz 2, h. 224).