Barry Jenkins berhasil membawa “Mufasa: The Lion King” menjadi tontonan yang memikat, meskipun film ini mungkin masih memunculkan perdebatan mengenai urgensinya dalam saga The Lion King. Sebagai pengganti film sebelumnya, Jenkins mampu menyeimbangkan eksplorasi cerita Mufasa dengan mempertahankan esensi dari kisah klasik sang Raja Pride Lands.
Film ini bukan debut Jenkins, yang sudah dikenal luas lewat Moonlight (2016), tetapi ini merupakan tantangan baru. “Mufasa: The Lion King” menjadi film blockbuster pertama yang ia garap, dan tantangan ini semakin besar karena film ini menyasar kalangan anak-anak sebagai audiens utama. Ditambah, capaian luar biasa The Lion King (2019) yang meraih US$1,65 miliar di box office, membuat ekspektasi semakin tinggi.
Salah satu aspek utama yang mencuri perhatian adalah visual. Mufasa: The Lion King hadir dengan animasi fotorealis yang menampilkan gambar tajam dan megah. Setiap karakter hewan dan pemandangan alam di Pride Lands tampak hidup dan memukau. Meskipun The Lion King sebelumnya juga menghadirkan visual serupa, nuansa yang dihadirkan kali ini terasa berbeda berkat tangan dingin Jenkins sebagai sutradara.
Jeff Nathanson, penulis naskah yang juga terlibat dalam The Lion King (2019), menulis cerita untuk film ini, memperluas semesta Simba dengan menampilkan kisah Mufasa. Film ini berfokus pada Mufasa (Aaron Pierre) dan Taka (Kelvin Harrison Jr.), yang nantinya menjadi Scar. Selain itu, beberapa karakter baru diperkenalkan, termasuk Kiara (Blue Ivy Carter), putri Simba, dan Kiros (Mads Mikkelsen), pemimpin kawanan singa putih yang menjadi musuh utama.
Cerita ini menggali lebih dalam perjalanan Mufasa menjadi raja, yang kontras dengan perjalanan Simba. Sementara Simba berjuang menghadapi rasa takut dan penebusan, Mufasa lebih banyak berbicara tentang rasa dengki dan bagaimana membuktikan diri sebagai seorang pemimpin.
Selain cerita inti, Mufasa: The Lion King juga menambahkan subplot cinta segitiga antara Mufasa, Taka, dan Sarabi (Tiffany Boone). Meskipun subplot ini mungkin sulit dipahami oleh anak-anak, namun cukup penting untuk menggambarkan konflik emosi di antara saudara-saudara angkat tersebut.
Karakter Kiros dan rombongannya yang menjadi antagonis dalam film ini kurang memberikan ancaman yang memadai. Mereka lebih sering mengejar jejak Mufasa, tetapi tak memperlihatkan aura sebagai raja hutan. Ini membuat saya merasa bahwa Jenkins bisa menggali lebih dalam lagi konflik cerita. Namun, mengingat tujuan film ini untuk anak-anak, konflik tersebut tetap diperhalus.
Musik dalam film ini juga patut diacungi jempol. Lin-Manuel Miranda kembali menulis lagu-lagu baru yang menambah kedalaman pada film ini. Meskipun belum dapat dibandingkan dengan lagu-lagu legendaris seperti Circle of Life atau Hakuna Matata, musik ini memberikan kesegaran yang diperlukan.
Kemunculan Kiara sebagai anak Simba juga memberikan sedikit humor melalui Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen). Kedua karakter ini berhasil menghadirkan momen komedi yang menyegarkan, bahkan sempat memberikan sentuhan ala breaking the fourth wall.
“Mufasa: The Lion King” sudah menunjukkan potensi besar, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti reaksi penonton dan performa di box office. Dengan visual yang memukau, cerita yang emosional, dan elemen komedi yang tepat, film ini punya peluang untuk mencapai kesuksesan yang hampir setara dengan pendahulunya.