Mulai 1 Januari 2025, layanan kesehatan premium seperti rumah sakit kelas VIP akan dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa penerapan PPN ini berlandaskan prinsip keadilan dan gotong royong. Pungutan pajak di Indonesia bertujuan agar kelompok masyarakat yang mampu turut membayar pajak sesuai ketentuan undang-undang, sementara mereka yang tidak mampu akan dilindungi dan diberi bantuan. Penerapan PPN ini dipilih hanya untuk barang dan jasa mewah, termasuk rumah sakit kelas VIP.
Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios). Menurut Bhima, memungut PPN dari jasa kesehatan, bahkan yang premium, adalah keputusan yang kurang tepat. Dia menilai semua layanan kesehatan seharusnya dikecualikan dari pajak karena berkaitan dengan kemanusiaan. Dia juga meragukan prinsip gotong royong yang diusung pemerintah, karena pajak seharusnya dikenakan pada aset orang kaya, bukan pada kelas menengah yang sedang sakit.
Selain itu, Bhima juga mengingatkan bahwa penerapan tarif PPN ini bisa menyebabkan kebingungan administratif, terutama bagi peserta BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menggunakan fasilitas kelas 1 dan 2 dapat naik ke kelas VIP dengan membayar selisih biaya, dan hal ini bisa menjadi masalah dengan penerapan PPN.
Penerapan tarif PPN 12 persen juga dapat berdampak pada sektor wisata kesehatan (health tourism), yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Bhima berpendapat bahwa dengan adanya tarif PPN tersebut, biaya kesehatan di Indonesia akan semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang menjadi tujuan utama banyak warga Indonesia untuk berobat. Ini berpotensi menyebabkan Indonesia kehilangan potensi devisa dari sektor kesehatan.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa meski sebagian kecil rumah tangga Indonesia berobat ke luar negeri, Malaysia tetap menjadi destinasi utama untuk berbagai jenis layanan kesehatan, seperti pemeriksaan kesehatan rutin (MCU), pengobatan kanker, hingga layanan kesehatan ibu dan anak. Alasan utama mereka memilih fasilitas kesehatan luar negeri adalah kualitas layanan yang lebih lengkap, sesuai harapan, serta biaya yang lebih terjangkau.
Dengan adanya kebijakan ini, semakin banyak orang Indonesia mungkin memilih untuk berobat ke luar negeri, yang akan merugikan sektor kesehatan dalam negeri. Diharapkan pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar lebih berpihak pada kepentingan kemanusiaan dan sektor kesehatan Indonesia.