Pajak di Indonesia, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mendapat kritik keras dari Bank Dunia. Meskipun pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 12% pada Januari 2025, hal ini belum cukup meningkatkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah memastikan bahwa kenaikan tarif PPN ini akan diberlakukan hanya pada barang mewah, dengan beberapa barang penting seperti sembako, jasa pendidikan, dan kesehatan tetap bebas PPN.
Pada awal 2025, pemerintah Indonesia akan memberlakukan tarif PPN 12%, namun hanya untuk barang-barang mewah. Misalnya, daging wagyu dan kobe yang tergolong premium, serta bahan makanan mahal seperti beras premium, salmon, dan king crab, akan dikenakan PPN penuh. Beberapa barang seperti tepung terigu dan minyak goreng hanya akan dikenakan PPN 11%, berbeda dengan barang lain yang mengalami kenaikan tarif menjadi 12%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini sesuai dengan prinsip keadilan dan gotong royong, serta bertujuan untuk meningkatkan tax ratio Indonesia, yang saat ini masih rendah. Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya bisa mencapai tax ratio 12,2% jika mengoptimalkan sistem perpajakan. Namun, hal ini tidak terjadi karena efisiensi pajak yang rendah.
Data menunjukkan bahwa tax ratio Indonesia pada 2023 masih berada di angka 10,4% dari PDB. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Brasil dan Afrika Selatan. Menurut Bank Dunia, rasio pajak terhadap PDB idealnya berada di atas 15% untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Negara-negara maju seperti negara-negara anggota OECD memiliki rasio pajak yang jauh lebih tinggi, rata-rata 34,1% pada 2021.
Penurunan efisiensi dalam pemungutan pajak semakin mengkhawatirkan. Salah satunya tercermin pada penurunan C-efficiency, yang mengukur sejauh mana penerimaan PPN sesuai dengan konsumsi. C-efficiency Indonesia telah menurun sejak 2018, mencapai titik terendah pada 2020. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara potensi penerimaan dan yang tercapai.
Selain itu, penerimaan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) juga jauh dari potensi maksimalnya. Dalam periode 2016-2021, Indonesia hanya mampu mengumpulkan sekitar 42% dari potensi PPh Badan, meskipun tarif pajaknya relatif tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19 terhadap keuntungan perusahaan, serta kebijakan seperti penundaan pembayaran pajak.
Keterbatasan ini juga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Banyak perusahaan, terutama yang tidak mengekspor, merasa bahwa penghindaran pajak lebih menguntungkan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kewajiban pajak dan kepatuhan terhadapnya, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan kebijakan pemerintah.
Bank Dunia juga menekankan pentingnya meningkatkan pendapatan pajak untuk mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. Efisiensi pemungutan pajak yang rendah menghambat upaya Indonesia dalam memanfaatkan potensi pajak yang besar, yang bisa meningkatkan pendapatan dan mengurangi risiko fiskal bagi negara.