Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Badan Pangan Nasional (Bapanas) menginisiasi program ini untuk memastikan setiap anak mendapatkan asupan nutrisi seimbang sesuai potensi pangan lokal daerah masing-masing. Tujuannya, tak hanya meningkatkan gizi anak, tetapi juga mendukung keberlanjutan produksi pangan lokal.
Melalui kajian mendalam, Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah berdasarkan keunikan sumber pangan. Di Sumatra, misalnya, nasi menjadi sumber karbohidrat utama, sementara di Papua, sagu dan ubi jalar mendominasi. Setiap daerah memiliki menu khas, seperti daun kelor di NTB dan matoa di Papua, mencerminkan keragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
Menurut Dirgayuza Setiawan, penulis buku Pangan Indonesia, pendekatan ini memperkuat ketahanan pangan lokal. “Kita harus mempertahankan keberagaman sumber makanan agar produksi berkelanjutan,” ujarnya dalam forum AIFED.
Namun, tantangan utama adalah penyesuaian anggaran. Presiden Prabowo menetapkan anggaran Rp10.000 per anak, turun dari rencana awal Rp15.000. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebutkan bahwa angka ini berdasarkan rata-rata hasil uji coba selama 11 bulan di Pulau Jawa. Meski demikian, jika biaya aktual di daerah lebih tinggi, pemerintah siap menerapkan skema subsidi.
Setiap menu dirancang tidak hanya bergizi tetapi juga sesuai dengan budaya dan kebiasaan makan masyarakat setempat. Misalnya, jagung dan sorgum menjadi pilihan karbohidrat di Sulawesi dan NTB, sementara daging ayam mendominasi lauk di Banten. Upaya ini juga mendukung para petani lokal, yang bahan pangannya kini menjadi bagian dari kebijakan nasional.
Program MBG adalah bukti bahwa solusi gizi dapat berakar pada kearifan lokal. Jika diterapkan secara konsisten, tidak hanya kesehatan anak-anak yang meningkat, tetapi juga perekonomian daerah dan ketahanan pangan nasional. Dengan pola makan yang disesuaikan, masa depan gizi anak Indonesia terlihat lebih cerah.