Celebrithink.com – Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-117 menjadi momen refleksi penting bagi Indonesia dalam menghadapi era kecerdasan buatan (AI) yang semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan.
Guru Besar Hukum dan Etika Teknologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Prof. Dedi Prasetyo, menyebut bahwa bangsa Indonesia kini menghadapi bentuk penjajahan baru, yaitu algoritma dan sistem digital tanpa etika.
“Bahaya AI bukan pada kecepatannya, tetapi pada kekosongan etik yang menyertainya. Kita sedang membiarkan mesin mengambil alih akal, hati, bahkan keadilan,” ujar Dedi dalam pernyataan resminya, Selasa (20/5).
Ia menyoroti penggunaan alat analisis risiko berbasis AI seperti Cybercheck dalam sistem hukum di Amerika Serikat, yang menurutnya telah digunakan untuk memutuskan ribuan perkara tanpa saksi atau bukti fisik. Salah satu contohnya adalah vonis penjara seumur hidup terhadap seorang pria di Ohio, yang hanya berdasar pada skor risiko dari sistem tersebut.
“Ini sangat berbahaya. Kita tidak boleh membiarkan sistem seperti itu hadir di Indonesia,” tegasnya.
Dedi juga menyinggung penggunaan AI dalam sidang pidana pembunuhan di Arizona, di mana pernyataan dampak korban (victim impact statement) ditulis oleh AI atas nama korban yang telah meninggal. Ia mempertanyakan keabsahan moral dari proses semacam itu.
“Ketika AI menulis pernyataan emosional atas nama korban, kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang berbicara? Manusia atau algoritma?”
Di sisi lain, pegiat literasi digital dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyampaikan kekhawatirannya terhadap penetrasi AI dalam kehidupan pribadi masyarakat, terutama generasi muda. Ia menyoroti hasil studi Forbes yang menunjukkan bahwa 80 persen Gen Z bersedia menikah dengan AI.
“Ini bukan tren biasa, tapi sinyal krisis kepercayaan terhadap relasi manusiawi,” ujar Devie, yang juga merupakan associate professor Program Vokasi UI.
Devie mengangkat kasus remaja di Florida yang bunuh diri setelah menjalin hubungan emosional dengan chatbot AI. Ia juga menyoroti fenomena viral di Yunani, di mana seorang istri menceraikan suaminya hanya karena prediksi ChatGPT soal perselingkuhan berdasarkan pola ampas kopi.
“AI kini diperlakukan seperti nabi digital. Masyarakat mulai lebih percaya pada mesin daripada logika dan dialog,” katanya.
Keduanya sepakat bahwa literasi digital harus menjadi bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Devie menilai bahwa Indonesia belum memiliki regulasi dan perlindungan publik yang cukup dalam menghadapi kemajuan AI.
“Kebangkitan tidak akan mungkin terjadi tanpa manusia yang sadar teknologi. Kita harus tahu cara kerja teknologi, tahu risikonya, dan berani berkata cukup,” ujarnya.
Dedi, yang juga pernah menjabat sebagai Kadiv Humas Mabes Polri, menegaskan bahwa makna Kebangkitan Nasional harus dikembalikan pada esensinya, yaitu membela harkat manusia.
“Bangkitlah sebagai manusia. Jangan serahkan keputusan hidup, hukum, dan hubungan sosial kepada mesin. Sekali kita percaya mesin tahu segalanya, kita kehilangan kemanusiaan kita.”
Sebagai penutup, Devie menegaskan bahwa teknologi seharusnya melayani manusia, bukan menggantikan nilai-nilai yang membuat manusia itu utuh.
“Kita boleh canggih, tapi jangan kehilangan etika, cinta, dan kesadaran. Itulah inti kebangkitan sejati,” tutupnya.