Di kawasan kumuh Kolong Jembatan (Kojem), Cilincing, Jakarta Utara, pendidikan seringkali terabaikan. Anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah justru berjuang mencari nafkah di laut. Kemiskinan, kriminalitas, narkoba, dan prostitusi menjadi pemandangan sehari-hari, membentuk lingkaran setan yang sulit diputus. Banyak anak di Kojem terpaksa putus sekolah, bahkan sebelum mencapai kelas empat SD. Alasannya beragam, mulai dari ketidakmampuan ekonomi keluarga, orang tua yang dipenjara, kesulitan belajar, hingga ada yang bahkan belum pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.
Di tengah kondisi memprihatinkan ini, hadir Rumah Belajar Merah Putih, sebuah sekolah informal yang didirikan oleh Desi Purwatuning 14 tahun lalu. Berlokasi di ruang sewa yang kecil, sekolah ini memberikan secercah harapan bagi anak-anak putus sekolah di Kojem dan sekitarnya. Desi, seorang mantan pelaut yang didiagnosis kanker pada tahun 2005, merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Awalnya, ia mendirikan perpustakaan dan tempat bermain di rumahnya. Namun, melihat banyak anak yang bahkan tidak bisa membaca, ia memutuskan untuk memindahkan kegiatannya ke Kojem dan mendirikan kelas informal.
“Sebanyak 90 persen dari semua anak di sini adalah anak putus sekolah,” ujar Desi. Ia bertekad membantu anak-anak ini melanjutkan pendidikan melalui ujian kesetaraan SD, SMP, dan SMA, dengan harapan mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Desi menyadari bahwa lingkungan tempat tinggal mereka tidak memberikan banyak pilihan. “Tak ada yang berharap mereka akan menjadi lebih dari sekadar nelayan atau pekerja kasar. Bahkan orang tua mereka pun tidak,” ungkapnya.
Di ruang kelas yang sempit berukuran 4×5 meter, sekitar 100 anak belajar secara bergantian dalam shift dua jam per hari. Kondisi ruangan yang sederhana, tanpa kursi dan hanya beralaskan matras karet yang mulai rusak, tidak menyurutkan semangat belajar mereka. Para relawan mahasiswa mengajarkan berbagai mata pelajaran, mulai dari matematika, sains, hingga pendidikan agama Islam. Desi menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai bekal bagi anak-anak di tengah lingkungan yang keras dan penuh dengan kejahatan.
Rumah Belajar Merah Putih bukan hanya sekadar tempat belajar, tetapi juga tempat yang nyaman dan aman bagi anak-anak. Beberapa dari mereka bahkan menghabiskan lebih banyak waktu di sana daripada di rumah mereka sendiri. Desi menceritakan beberapa kisah pilu, seperti kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami oleh mantan siswinya. “Bagi banyak anak di sini, tempat ini adalah tempat aman mereka,” tuturnya.
Kisah Yogi Pratama Putra, seorang remaja 14 tahun yang putus sekolah di kelas empat, menjadi salah satu contoh keberhasilan Rumah Belajar Merah Putih. Ia kini bisa belajar sesuai ritmenya sendiri sambil tetap membantu keluarganya melaut dan membersihkan kerang. Siswa lainnya, Putra, telah memperoleh ijazah SD dan bersiap untuk ujian kesetaraan SMP. Begitu pula dengan Tegar Mahendra, yang berhenti sekolah sejak kelas dua dan kini tengah mempersiapkan ujian kesetaraan SMP. Tegar bermimpi menjadi pengusaha sukses, sebuah impian yang dulunya terasa mustahil sebelum ia bergabung dengan Rumah Belajar Merah Putih. “Aku bersyukur atas pendidikan yang aku dapat. Tanpa sekolah ini, mungkin aku sudah terjerumus ke narkoba atau hal-hal buruk lainnya,” ungkapnya.
Rumah Belajar Merah Putih, dengan segala keterbatasannya, telah menjadi oase di tengah kerasnya kehidupan di Kojem. Desi Purwatuning dan para relawannya telah memberikan harapan dan kesempatan bagi anak-anak yang terpinggirkan, membuka jalan bagi mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik.