Isa Zega, atau yang dikenal dengan julukan “Mami Online,” kembali menjadi sorotan dan menuai kritik tajam atas tindakannya saat melaksanakan ibadah umrah. Tidak hanya dari warganet, kecaman juga datang dari tokoh masyarakat, termasuk anggota DPR Mufti Anam, yang menilai tindakan Isa sebagai pelanggaran terhadap norma-norma keagamaan.
Penampilan Isa Zega Saat Umrah Disorot
Ketika menjalani ibadah umrah, Isa Zega membagikan momen dirinya mengenakan hijab dan cadar melalui media sosial. Unggahan tersebut memicu reaksi keras dari sejumlah pihak, termasuk tokoh agama. Status gender Isa Zega sebagai transgender menjadi isu utama yang diperbincangkan. Dalam Islam, aturan ibadah umrah bagi laki-laki dan perempuan memiliki ketentuan berbeda.
Mufti Anam, melalui akun pribadinya, menyoroti tindakan Isa yang dianggap tidak sesuai dengan kodrat asalnya sebagai laki-laki. “Dalam Islam, walaupun seseorang melakukan perubahan gender, kewajiban beribadah tetap mengikuti kodrat lahiriah. Tindakan seperti ini adalah bagian dari penistaan agama,” ungkapnya.
Dugaan Penistaan Agama dan Ancaman Hukum
Tindakan Isa Zega saat umrah dianggap melanggar KUHP Pasal 156 A tentang penistaan agama. Jika terbukti bersalah, ancaman hukumannya mencapai lima tahun penjara. Menurut Mufti Anam, pelanggaran tersebut terjadi karena Isa menjalankan ibadah dengan prosesi yang menyerupai perempuan, padahal statusnya sebagai transgender tidak diakui secara hukum agama Islam.
Desakan Penegakan Hukum
Banyak pihak mendesak agar penegak hukum segera memproses kasus ini. Mufti Anam berharap tindakan hukum tegas dapat mencegah kejadian serupa di masa depan. Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, harus menjaga norma dan nilai agama agar tidak tercoreng.
“Kami berharap kepolisian dan pihak terkait segera mengambil langkah hukum terhadap Isa Zega. Ini demi mencegah perpecahan di masyarakat sekaligus memastikan tidak ada contoh buruk yang ditiru di kemudian hari,” tutup Mufti Anam.
Kasus ini mencerminkan sensitivitas publik terhadap isu agama, khususnya yang melibatkan norma dan identitas gender. Kasus ini memerlukan penanganan hati-hati agar tidak memicu konflik lebih lanjut.