Pulau resor di Indonesia ini telah mengalami peningkatan jumlah pengunjung asing sejak pandemi COVID-19 menghancurkan sektor pariwisata. Sementara masuknya wisatawan merevitalisasi sektor ini, berbagai masalah – beberapa di antaranya sudah tidak asing lagi – juga muncul. Bali ingin menghentikan sementara pembangunan hotel dan vila baru di wilayah selatannya, karena pulau resor Indonesia ini berupaya untuk mengekang pembangunan yang berlebihan dan melestarikan lahan pertanian di tengah masuknya pariwisata.
Penundaan pembangunan yang direncanakan akan menargetkan wilayah Sarbagita, yang meliputi Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, menurut penjabat gubernur pulau tersebut Sang Made Mahendra Jaya.
Pemerintah Bali telah secara resmi meminta pemerintah pusat di Jakarta untuk memberlakukan tindakan ini. “Kami telah mengirim surat kepada kementerian yang meminta penundaan pembangunan hotel dan vila baru di Sarbagita,” kata Tn. Mahendra kepada situs berita lokal Kumparan pada hari Rabu (4 September). Dia tidak menyebutkan berapa lama dia ingin penangguhan tersebut berlangsung.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno telah mengonfirmasi usulan tersebut akan dikaji oleh kementeriannya dan dibahas dalam rapat kabinet mendatang dengan Presiden Joko Widodo, sebagaimana dilaporkan oleh media Indonesia. Sandiaga menegaskan bahwa moratorium tersebut mendapat dukungan dari akademisi dan pemangku kepentingan pariwisata.
“Kami berharap pembangunan di Bali Selatan dapat dihentikan sementara untuk mencegah overtourism,” katanya. Menteri tersebut mengindikasikan bahwa sebagai bagian dari langkah tersebut, pemerintah pusat mungkin hanya mengelola izin bangunan di masa mendatang di Bali, dengan pemerintah daerah memainkan peran konsultatif.
“Proses konsultasi akan melibatkan para pemimpin daerah dan pemangku kepentingan masyarakat. Mengingat situasi darurat saat ini, izin bangunan di Bali Selatan akan diatur secara terpusat,” jelas Sandiaga. Bali telah mengalami peningkatan kedatangan wisatawan sejak pandemi COVID-19 menghancurkan sektor tersebut.
Salah satunya adalah menyusutnya sawah dan potensi ancaman terhadap ketahanan pangan Bali karena semakin banyak yang diubah menjadi villa. Kabupaten yang terkena dampak, terutama Gianyar dan Tabanan, merupakan daerah pertanian yang kritis.
Lonjakan pembangunan villa didorong oleh tingginya permintaan dari individu kaya, baik lokal maupun internasional, serta ketersediaan visa emas bagi orang asing. Harga vila di kawasan populer seperti Nusa Dua, Jimbaran, Sanur, dan Ubud berkisar antara 2,2 miliar hingga 5 miliar rupiah (US$143.000 hingga US$325.000), sementara luasnya bervariasi dari 100 hingga 500 meter persegi.
Kadek Adnyana, pendiri Asosiasi Penyewaan dan Pengelolaan Vila Bali, menunjukkan bahwa vila yang dioperasikan oleh asing tanpa izin yang tepat mengganggu bisnis lokal yang mengikuti peraturan. “Situasi ini menyulitkan pengusaha lokal yang telah berinvestasi dalam izin resmi,” jelasnya.
Bapak Kadek meminta pemerintah untuk menangani operasi ilegal tersebut guna melindungi bisnis lokal Bali. “Mereka menjalankan bisnis tanpa membayar pajak, sementara kami, yang telah beroperasi secara legal selama bertahun-tahun, diharuskan untuk mematuhi peraturan. Pemerintah perlu menangani dan memantau operasi ilegal yang dijalankan oleh wisatawan asing. Situasi ini menyebabkan kami sangat khawatir.”
Penjabat gubernur Bali Mahendra juga menunjukkan “perilaku tidak pantas” dari beberapa wisatawan asing sebagai alasan moratorium. “Kami ingin memastikan proses perizinan diatur dengan benar,” imbuhnya. Selain menghentikan alih fungsi lahan, moratorium juga untuk menilai jumlah vila yang ada dan mengefisienkan pengelolaan izin pembangunan hotel dan vila.
“Pertama-tama, kita perlu mengelola proses perizinan untuk memastikan bahwa sawah tidak diubah menjadi vila,” imbuh Bapak Mahendra. Beberapa wisatawan asing telah menikahi penduduk Bali untuk membangun bisnis vila, yang mengarah pada alih fungsi sawah lebih lanjut, kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
“Kami sedang mengaudit situasi di Canggu, dan tidak dapat diterima untuk mengubah fungsi sawah menjadi properti perumahan,” kata Bapak Luhut pada konferensi pers Forum Keberlanjutan Internasional Indonesia 2024 di Jakarta pada hari Kamis (5 September). Desa adat Penglipuran di Bali timur sekarang menarik ribuan orang setiap hari.
Menteri juga menyatakan kekesalannya dengan perilaku buruk beberapa wisatawan asing, dengan mencatat ada sekitar 200.000 wisatawan asing yang bermukim di Bali.
“Situasi ini menimbulkan berbagai masalah, mulai dari kejahatan hingga berkurangnya kesempatan kerja bagi penduduk setempat,” kata Bapak Luhut. Tahun lalu, Bali mendeportasi 340 orang asing, naik dari 188 pada tahun 2022, terutama dari Rusia, AS, Inggris, dan Nigeria. Pelanggaran yang mereka lakukan termasuk melebihi batas waktu, bekerja secara ilegal, dan mengekspos diri di tempat-tempat suci.
Awal tahun ini, polisi menangkap tiga warga Meksiko atas dugaan perampokan yang menyebabkan seorang turis Turki terluka. Bapak Luhut menekankan perlunya penegakan hukum yang ketat terhadap turis asing yang melanggar peraturan, termasuk deportasi segera dan larangan masuk kembali.
“Kita menginginkan pariwisata yang berkualitas. Kita harus memastikan bahwa budaya Bali dilestarikan karena tanpanya, pariwisata tidak akan berkembang. Ini perlu dikelola dengan baik,” tambahnya. Bapak Luhut juga mengkritik maraknya klub malam yang menampilkan pertunjukan telanjang oleh wisatawan asing, dan menyerukan pengurangan tempat-tempat seperti itu. “Bali bukan tempat untuk ketelanjangan publik. Wisatawan yang mencari pengalaman seperti itu harus pergi ke tempat lain. Bali harus melestarikan pesonanya.”