Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat indeks harga konsumen (IHK) kembali mengalami penurunan atau terjadi deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada September 2024.
Ini menjadi deflasi kelima berturut-turut sejak Mei 2024, dengan angka deflasi sebelumnya masing-masing 0,03 persen pada Agustus, 0,18 persen pada Juli, 0,08 persen pada Juni, dan 0,03 persen pada Mei.
Deflasi yang berkepanjangan dapat menjadi sinyal buruk bagi perekonomian, karena meski harga barang dan jasa turun, hal ini juga mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat dan menurunnya permintaan terhadap produk serta jasa.
Penurunan harga yang terus terjadi dapat mendorong produsen untuk mengurangi produksi karena keuntungan yang semakin menipis. Akibatnya, perusahaan bisa menunda investasi atau bahkan melakukan pengurangan tenaga kerja. Hal ini pada akhirnya berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Deflasi berbeda dengan inflasi.
Jika inflasi terjadi ketika harga barang dan jasa naik, deflasi adalah kebalikannya, di mana harga-harga justru turun secara umum. Sekilas, deflasi mungkin tampak menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih murah, namun dalam jangka panjang, kondisi ini bisa merugikan.
Deflasi dapat menyebabkan stagnasi ekonomi, karena konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan terus turun. Di sisi lain, produsen menghadapi tekanan untuk terus menurunkan harga, yang akhirnya mengganggu stabilitas ekonomi.
Dalam lima bulan terakhir, faktor-faktor seperti penurunan harga pangan, energi, dan lemahnya konsumsi domestik diduga menjadi penyebab utama deflasi di Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan dapat segera mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan harga dan mendorong permintaan konsumen agar deflasi tidak berlanjut dan berdampak lebih jauh terhadap perekonomian.