Aksi unjuk rasa bertajuk “Jateng Bergerak Adili dan Turunkan Jokowi” di Semarang pada Senin, 26 Agustus 2024, berakhir ricuh setelah polisi membubarkan massa di depan Balai Kota dan DPRD Kota Semarang. Pembubaran ini menyebabkan banyak korban, dengan 33 demonstran harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, puluhan demonstran ditangkap.
Awalnya, massa aksi melakukan long march melewati sejumlah ruas jalan di Kota Semarang, termasuk Jalan Pahlawan yang berada di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah. Meski polisi sudah bersiaga, massa tetap menuju Jalan Pemuda dan melanjutkan unjuk rasa di depan Balai Kota dan DPRD Kota Semarang. Hingga pukul 18.00 WIB, massa tidak kunjung membubarkan diri, memaksa polisi mengambil tindakan tegas.
Polisi kemudian menggunakan water cannon dan gas air mata untuk membubarkan massa. Para demonstran sempat bertahan, tetapi akhirnya mundur ke arah utara, menyelamatkan diri ke sejumlah kantor dan hotel di tepi Jalan Pemuda. Dalam proses evakuasi, banyak demonstran mengalami sesak napas, pingsan, dan bahkan mengalami luka di kepala.
Dewi, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo, menceritakan bagaimana polisi terus menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Merasa terancam, Dewi dan kawan-kawannya mencari tempat aman, termasuk masuk ke basement Polux Paragon Mall. Di sini, gas air mata juga masuk, membuat lobi mall berubah menjadi tempat perawatan darurat bagi para demonstran yang terkena dampaknya.
Sementara itu, puluhan mahasiswa dan pelajar yang terlibat dalam aksi unjuk rasa ditangkap dan dibawa ke Markas Polrestabes Semarang. Tim pendamping hukum dari Gerakan Rakyat Menggugat Jateng, Tuti Wijaya, menyatakan bahwa mereka kesulitan memberikan bantuan hukum kepada para demonstran yang ditahan. Data sementara menunjukkan bahwa 21 pelajar dan 6 mahasiswa ditangkap polisi.
Nasrul Saftiar Dongoran, pendamping hukum lainnya, mengecam tindakan Polrestabes Semarang yang tidak memberikan akses pendampingan hukum, terutama karena beberapa demonstran yang ditangkap masih di bawah umur. Dia menekankan bahwa pemeriksaan terhadap anak di bawah umur seharusnya tidak dilakukan pada malam hari dan harus didampingi oleh wali atau pengacara.
Seorang pelajar yang hanya menonton aksi unjuk rasa juga ikut ditangkap polisi. Berdasarkan rekaman video yang diperoleh Tempo, pelajar tersebut ditangkap oleh lima orang polisi berpakaian sipil setelah mencoba melarikan diri ke sebuah gang perkampungan. Warga setempat melaporkan bahwa pelajar tersebut sempat mengalami kekerasan fisik selama penangkapan.
Polisi mengklaim telah mencoba melakukan pendekatan persuasif sebelum akhirnya memutuskan untuk membubarkan massa dengan menggunakan water cannon. Komisaris Besar Artanto, Kabid Humas Polda Jawa Tengah, menyatakan bahwa upaya persuasif yang dilakukan tidak dihiraukan oleh demonstran, sehingga pembubaran dengan cara tersebut dianggap perlu.