Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyebut kondisi ekonomi yang mulai pulih sebagai momen yang tepat bagi PT Pertamina (Persero) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, terutama RON 92 atau Pertamax.
Langkah Pertamina dalam mempertahankan harga Pertamax sejak Maret 2024 patut diapresiasi. Ketika itu, harga minyak dunia melonjak, sementara nilai tukar rupiah terus melemah. Keputusan ini bertujuan agar daya beli masyarakat tidak semakin terpuruk. Namun, Ferdy menekankan bahwa Pertamina tidak bisa terus-menerus menahan harga Pertamax. Risiko terhadap neraca keuangan perusahaan sangat besar jika hal ini terus dilakukan.
Saat ini, ketika kondisi ekonomi sudah membaik, merupakan waktu yang tepat bagi Pertamina untuk menyesuaikan harga BBM nonsubsidi. Menaikkan harga Pertamax juga akan menciptakan persaingan yang lebih sehat dengan badan usaha lain. Sejak 1 Agustus 2024, seluruh SPBU swasta serentak menaikkan harga BBM RON 92. Saat ini, harga Pertamax dijual Rp12.950 per liter, lebih rendah dibandingkan BBM sejenis dari SPBU swasta. Sebagai contoh, Revvo 92 dari Vivo dijual Rp14.320 per liter dan Super dari Shell Rp14.520 per liter.
Sebagai perusahaan, Pertamina juga dituntut untuk mencetak laba. Jika tidak, DPR akan mempertanyakan kinerja perusahaan tersebut. Ferdy berharap Pertamina menggunakan parameter yang tepat dalam menetapkan harga baru Pertamax, agar keuangan perusahaan tetap aman, namun tidak memberatkan masyarakat.
Harga BBM harus tetap kompetitif. Apalagi dari segi kualitas, BBM Pertamina lebih unggul karena kilang pengolahannya sudah lebih baik. Ferdy juga menambahkan, konsumen Pertamax umumnya adalah kelompok ekonomi mampu. Dengan demikian, penyesuaian harga yang berkala seharusnya tidak menjadi masalah bagi mereka.