Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang ini dilaksanakan berdasarkan permohonan Pranoto, seorang pemerhati sejarah, dan Dwi Agung, seorang guru. Permohonan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 66/PUU-XXII/2024.
Sidang dipimpin oleh para hakim konstitusi, yaitu Daniel Yusmic P, M. Guntur Hamzah, dan Ridan Mansyur. Para pemohon berpendapat bahwa Pasal 16 huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan mengingkari hak konstitusional mereka dan profesi sejenis yang diatur dalam UUD 1945. Khususnya, mereka menyoroti Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) yang terkait dengan hak memperoleh pendidikan.
Para pemohon menyatakan bahwa ketidaksesuaian frasa dalam undang-undang dengan fakta sejarah menghambat mereka dalam memperoleh dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Mereka merasa dirugikan karena kesalahan ini berdampak pada kualitas sistem pendidikan nasional dan pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945. Kesalahan ini juga tercermin dalam Surat Edaran Pemerintah tentang Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
Pranoto dan Dwi Agung menekankan pentingnya mengubah frasa ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ menjadi ‘Kemerdekaan Bangsa Indonesia’ dalam Pasal 16 huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan. Menurut mereka, perubahan ini akan memenuhi hak konstitusional mereka dan memperbaiki sistem pendidikan nasional. Selain itu, perubahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan ketelitian Pemerintah dalam menerbitkan Surat Edaran terkait peringatan hari besar nasional.
Dalam permohonan mereka, para pemohon menginginkan MK menyatakan bahwa Pasal 16 huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka berharap MK dapat menyelamatkan hak konstitusional para pemohon dan profesi sejenis, serta menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan adil.
Dengan alasan-alasan tersebut, para pemohon yakin bahwa permohonan ini akan membawa perubahan positif bagi sistem pendidikan nasional dan memperbaiki interpretasi sejarah yang diajarkan di Indonesia. Hal ini penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memastikan bahwa pendidikan di Indonesia berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional yang telah ditetapkan.
Sidang ini menjadi penting karena menyangkut hak-hak fundamental para pemohon sebagai warga negara dan profesional dalam bidang pendidikan. MK diharapkan dapat memberikan putusan yang adil dan bijaksana demi kepentingan bersama dan masa depan pendidikan di Indonesia.