Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, merespons wacana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menuai polemik dari masyarakat, khususnya dari kalangan pekerja swasta dan pekerja mandiri. Mereka merasa keberatan karena adanya potongan iuran yang diambil dari gaji mereka untuk program ini.
Basuki mengungkapkan penyesalannya karena program Tapera mendapat kritik keras dari masyarakat dan para pekerja. “Menurut saya pribadi, kalau ini memang belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa,” kata Basuki di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Ia menambahkan bahwa pemerintah sudah mengucurkan dana sebesar Rp105 triliun dari APBN untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Namun, meski sudah ada upaya dari pemerintah, kebijakan Tapera justru memicu kemarahan publik.
“Jadi effort-nya, dengan kemarahan ini saya pikir saya benar-benar menyesal, saya nggak legawa,” ujarnya. Basuki memahami alasan banyak pihak yang mendorong agar kebijakan Tapera ini ditunda. Ia pun setuju dengan usulan tersebut dan berjanji akan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
“Jadi kalau ada usulan, apalagi DPR misalnya minta untuk diundur, menurut saya (wajar), saya sudah kontak dengan Ibu Menkeu juga, kita akan itu,” pungkasnya.
Respon dari Basuki ini menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan keluhan dan kritik masyarakat. Basuki berjanji akan menyampaikan semua aspirasi tersebut kepada pihak-pihak terkait, terutama Menteri Keuangan. Ini menunjukkan adanya komitmen dari pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan yang menuai banyak kontroversi ini.
Program Tapera sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk membantu masyarakat memiliki rumah sendiri melalui sistem tabungan. Namun, mekanisme pelaksanaannya, khususnya terkait potongan gaji pekerja, menjadi masalah utama yang memicu penolakan. Banyak pekerja merasa beban keuangan mereka semakin berat dengan adanya potongan ini, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
Dengan banyaknya masukan dan kritik, diharapkan pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan ini. Mungkin ada solusi lain yang lebih diterima oleh masyarakat tanpa menambah beban mereka. Misalnya, mencari sumber pendanaan lain atau memberikan insentif bagi para pekerja yang berpartisipasi dalam program ini.
Kritik dan penolakan terhadap program Tapera juga menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan yang dibuat. Melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan pekerja, dalam proses perumusan kebijakan bisa menjadi langkah yang lebih bijaksana.
Ke depan, semoga pemerintah dapat menemukan jalan tengah yang bisa memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat tanpa menambah beban finansial mereka. Sebab, memiliki rumah layak huni adalah impian setiap orang, dan pemerintah punya peran penting untuk mewujudkan impian tersebut dengan cara yang tepat dan bijak.