Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, resmi menjadi tersangka atas tuduhan pengkhianatan negara dan penyalahgunaan kekuasaan. Status tersebut ditetapkan oleh jaksa setelah adanya pengaduan terkait pemberlakuan darurat militer sepihak pada 3 Desember lalu.
Dalam konferensi pers Minggu (8/12), Kepala Tim Penyelidikan Khusus Kejaksaan, Park Se Hyun, menjelaskan bahwa langkah hukum ini merupakan bagian dari prosedur standar yang dimulai ketika ada pengaduan resmi. “Ketika pengaduan diajukan, kami mendaftarkan individu terkait sebagai tersangka untuk melanjutkan penyelidikan sesuai hukum,” kata Park, dikutip dari The Korea Times.
Park menambahkan bahwa tindakan Presiden Yoon diduga memenuhi unsur pengkhianatan dan penyalahgunaan wewenang. Menurutnya, kasus ini melibatkan pelanggaran serius oleh pejabat negara yang memicu pemberontakan dengan tujuan menggoyahkan tatanan konstitusi.
Menariknya, tuduhan pengkhianatan ini tidak dilindungi oleh kekebalan konstitusional presiden. Oleh karena itu penyelidikan dapat terus berjalan dan terlepas dari hasil pemungutan suara pemakzulan yang berlangsung sehari sebelumnya.
Dalam perkembangan kasus ini, mantan Menteri Pertahanan Korea Selatan, Kim Yong-hyun, telah lebih dulu ditangkap. Ia ditahan pada Minggu pagi, enam jam setelah datang secara sukarela ke kantor Kejaksaan Distrik Pusat Seoul. Penahanan darurat dilakukan karena ada kekhawatiran bahwa Kim dapat menghilangkan barang bukti.
Kim, yang dikenal sebagai teman dekat Yoon sejak SMA Chungam, diduga memainkan peran kunci dalam perencanaan dan penerapan darurat militer. Jaksa menyita ponselnya, menggeledah kediaman resmi, dan mengamankan catatan telepon yang diyakini berkaitan dengan dugaan pemberontakan serta pelanggaran hukum pidana militer.
Selain itu, penyelidikan juga menyoroti peran Kim dalam pengerahan pasukan bersenjata ke Majelis Nasional dan Komisi Pemilihan Nasional. Jaksa kini sedang mengumpulkan bukti tambahan, termasuk meminta surat perintah penangkapan resmi dalam waktu 48 jam setelah penahanan Kim.
Kasus ini menjadi sorotan publik. Kasus ini melibatkan keputusan besar yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi negara, yang kini harus menghadapi pertanyaan tentang integritas dan kepatuhan pada hukum.