Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, mengejutkan negara pada Selasa malam dengan mengumumkan penerapan darurat militer, langkah yang belum terjadi dalam hampir 50 tahun. Dalam pidato yang disiarkan televisi, Yoon menyebut adanya ancaman dari “kekuatan anti-negara” dan Korea Utara, namun kemudian terungkap bahwa keputusan ini lebih dipicu oleh masalah politik dalam negeri.
Keputusan Yoon segera memicu protes besar-besaran, dengan ribuan orang berkumpul di luar gedung parlemen. Sementara itu, anggota oposisi bergerak cepat untuk menggagalkan langkah tersebut dengan mengajukan pemungutan suara darurat. Tak lama kemudian, Yoon menerima keputusan parlemen yang menolak deklarasi darurat militer tersebut.
Pada malam itu, Yoon memaparkan situasi politik yang semakin memburuk, mengklaim bahwa pemerintahnya sedang diserang oleh oposisi. Dalam pidatonya, dia mengumumkan bahwa darurat militer diperlukan untuk “menghancurkan kekuatan anti-negara”. Militer kemudian mengeluarkan keputusan yang melarang protes dan membatasi aktivitas media serta parlemen. Pasukan bersenjata dan polisi ditempatkan di gedung parlemen, dan helikopter terlihat mendarat di atap gedung.
Namun, meskipun ada pengumuman pembatasan dari militer, protes tetap berlangsung. Warga dan politisi dari partai oposisi berkumpul di gedung parlemen untuk menggagalkan deklarasi tersebut. Demonstran meneriakkan yel-yel menentang darurat militer, dan meskipun ada bentrokan ringan dengan polisi, ketegangan tidak berkembang menjadi kekerasan.
Keputusan untuk menolak darurat militer akhirnya dilakukan pada pukul 01:00 pagi keesokan harinya, dengan 190 dari 300 anggota parlemen hadir. Parlemen Korea Selatan menyatakan bahwa deklarasi tersebut tidak sah dan membatalkannya.
Darurat militer, yang merupakan pemerintahan sementara oleh militer dalam situasi darurat, terakhir kali diterapkan pada tahun 1979 setelah pembunuhan diktator militer Park Chung-hee. Sejak Korea Selatan menjadi negara demokrasi pada 1987, darurat militer tidak pernah diterapkan lagi hingga keputusan Yoon. Ia menggambarkan oposisi politik sebagai simpatisan Korea Utara, meskipun tidak memberikan bukti yang mendukung klaim tersebut.
Keputusan Yoon ini sangat dipengaruhi oleh situasi politik yang semakin sulit baginya. Sejak pemilu besar yang dimenangkan oleh oposisi pada April, pemerintahannya kesulitan untuk menjalankan agenda politik dan mengalami penurunan tingkat popularitas. Selain itu, Yoon juga dililit sejumlah skandal korupsi, termasuk isu yang melibatkan Ibu Negara yang menerima hadiah tas mewah.
Meskipun upaya Yoon untuk memaksakan kontrol atas situasi ini gagal, protes dan ketegangan politik tetap berlangsung. Banyak warga yang menuntut agar Yoon dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, bahkan ada yang menyerukan agar ia dipecat. Kejadian ini memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Korea Selatan, dengan beberapa pakar menyebutnya sebagai tantangan terbesar terhadap sistem demokrasi negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir.