Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyatakan bahwa kliennya baru menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) lebih dari setahun setelah Surat Perintah Penyidikan (sprindik) diterbitkan. Dalam sidang praperadilan yang berlangsung pada Senin, 25 November 2024, Ari menyoroti pelanggaran prosedural oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penetapan Tom sebagai tersangka.
Ari menjelaskan bahwa Tom baru mengetahui adanya sprindik pada 3 Oktober 2023 melalui SPDP tertanggal 29 Oktober 2024. Menurut Ari, hal ini melanggar ketentuan dalam Putusan MKRI Nomor 130/PUU-XIII/2015, yang menyebutkan bahwa SPDP harus diterima paling lambat tujuh hari setelah sprindik diterbitkan. Hal ini menjadi bukti adanya pelanggaran prosedural yang serius.
Kejagung, di sisi lain, beralasan bahwa penyidikan ini merupakan Surat Perintah Penyidikan Umum yang belum mencantumkan nama tersangka. Kejagung juga menyebutkan bahwa SPDP telah disampaikan ke penuntut umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, argumen ini dibantah oleh ahli pidana Chairul Huda, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara Surat Perintah Penyidikan Umum dan Khusus. Meski umum, sprindik sudah jelas menunjuk calon tersangka, sehingga Kejagung tetap wajib mengirimkan SPDP kepada yang bersangkutan.
Ari juga menambahkan bahwa dalam pengalaman pengadilan sebelumnya, status tersangka seseorang dibatalkan karena tidak menerima SPDP. Dodi S. Abdulkadir, kuasa hukum lainnya, menegaskan bahwa dengan menerima SPDP, seorang tersangka diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dan memberikan penjelasan atas tindakannya. Tanpa SPDP, Tom tidak dapat memahami status hukumnya dengan jelas.
Sementara itu, pihak Kejagung tetap berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong sudah sah. Jaksa Zulkipli menyatakan bahwa proses tersebut sesuai dengan hukum, meski sprindik belum mencantumkan nama tersangka. Kejagung mengklaim telah mengumpulkan empat alat bukti berupa keterangan saksi, ahli, surat, dan petunjuk yang mendasari penetapan Tom sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula. Sidang praperadilan ini berlanjut pada Selasa, 26 November 2024, dengan agenda pembacaan putusan oleh hakim tunggal Tumpanuli Marbun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.