Marimutu Sinivasan, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan bos Texmaco Group, ditangkap di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Ia berusaha kabur ke Malaysia sebelum petugas imigrasi menangkapnya pada Minggu, 8 September 2024.
Penangkapan ini dikonfirmasi oleh Dirjen Imigrasi, Silmy Karim. Petugas menangkap Marimutu saat ia sedang dalam perjalanan menggunakan kendaraan. Paspor miliknya segera disita oleh pihak imigrasi. Setelah penangkapan, Marimutu diserahkan kepada Satuan Tugas (Satgas) BLBI. Meskipun tidak ditahan secara fisik, ia dicegah untuk keluar negeri dan urusan hukum terkait utangnya kepada negara kini menjadi tanggung jawab Satgas BLBI.
Grup Texmaco, yang dipimpin oleh Marimutu, memiliki utang besar kepada pemerintah sejak krisis keuangan 1998. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pernah menjelaskan bahwa perusahaan ini meminjam dana dari berbagai bank, baik bank BUMN maupun swasta. Ketika krisis terjadi, pemerintah harus menyelamatkan bank-bank tersebut melalui bailout.
Pinjaman yang tercatat dari Grup Texmaco di divisi engineering mencapai Rp 8,08 triliun dan USD 1,24 juta. Sementara itu, divisi tekstilnya memiliki utang sebesar Rp 5,28 triliun dan USD 256,59 ribu. Belum termasuk utang dalam mata uang lain. Saat krisis, utang tersebut masuk dalam kategori macet.
Hak tagih utang dari bank yang diselamatkan kemudian dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Meski begitu, pemerintah tetap memberikan dukungan agar Grup Texmaco bisa terus beroperasi. Pemerintah melalui bank BNI bahkan menjamin Letter of Credit (L/C) perusahaan tersebut.
Dalam prosesnya, Texmaco mencapai kesepakatan restrukturisasi utang dengan pemerintah. Pemilik Texmaco, Marimutu, menandatangani perjanjian restrukturisasi pada 23 perusahaan operasional Texmaco. Utang tersebut dialihkan ke dua holding company, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Pada 2005, Marimutu kembali mengakui utangnya kepada pemerintah, menyatakan bahwa Texmaco memiliki utang sebesar Rp 29 triliun, termasuk jaminannya. Utang tersebut dijanjikan akan dibayar melalui holding company yang masih beroperasi.
Namun, dalam beberapa publikasi, Marimutu menyebutkan bahwa utang Texmaco hanya Rp 8 triliun. Padahal, menurut perjanjian resmi, utangnya mencapai Rp 29 triliun ditambah USD 80,5 juta yang belum dibayarkan. Pemerintah telah berulang kali memberikan kesempatan kepada Texmaco untuk membayar utangnya. Namun, hingga saat ini, tidak ada itikad baik dari perusahaan tersebut. Akhirnya, pemerintah mengeksekusi aset-aset Texmaco.
Aset yang disita oleh pemerintah termasuk lahan seluas 4,79 juta meter persegi. Eksekusi ini dilakukan setelah lebih dari 20 tahun pemerintah memberikan dukungan dan ruang bagi Texmaco agar tetap beroperasi. Meski begitu, Marimutu dan perusahaannya tidak menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan kewajiban utang mereka.