celebrithink.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan dimulai pada 6 Januari 2025, membawa ambisi besar: memerangi stunting dan meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Namun, peluncuran perdananya yang menyasar 600.000 anak dari target awal 3 juta menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan program ini.
Ambisi vs Realitas Makan Bergizi Gratis
MBG awalnya direncanakan sebagai makan siang gratis bagi 83 juta penerima, dengan anggaran fantastis Rp450 triliun per tahun. Namun, perubahan konsep, anggaran terbatas, dan pelaksanaan yang dinilai tergesa-gesa menjadikan realitas lebih rumit. Saat ini, anggaran hanya mencapai Rp71 triliun, memaksa pengurangan biaya per porsi menjadi Rp10.000—tantangan besar untuk menyediakan makanan bergizi.
Tantangan di Lapangan Makan Bergizi Gratis
Sejumlah kendala muncul, seperti distribusi bahan baku, menu yang berubah-ubah, serta keterbatasan logistik. Mitra katering juga menghadapi hambatan modal awal. Wati, seorang pengusaha katering, mengaku mundur karena sistem pembayaran yang memintanya mendanai operasional terlebih dahulu.
Di sisi lain, ada pihak seperti Yayasan Yasika Centre Indonesia di Makassar yang tetap optimis meski hanya menargetkan pemenuhan biaya operasional, bukan keuntungan besar. Pengelolaan shift kerja dan dukungan ahli gizi di yayasan ini menjadi contoh bagaimana kemitraan yang terorganisasi bisa membantu menyukseskan program.
Kerjasama dan Harapan
Untuk mengatasi keterbatasan dana, pemerintah mengandalkan pinjaman luar negeri, seperti dari China. Hal ini menuai kritik, terutama terkait transparansi dan keberlanjutan. Selain itu, keterlibatan TNI dalam distribusi memicu perdebatan, meski pemerintah berpendapat hal ini untuk memastikan efektivitas.
Peluang Perbaikan
Meskipun menu dan pelaksanaan program masih perlu disempurnakan, MBG membawa harapan untuk masa depan anak-anak Indonesia. Dengan target 15 juta penerima hingga akhir 2025, evaluasi berkala dan sinergi berbagai pihak menjadi kunci agar program ini tidak hanya berjalan tetapi juga berdampak nyata.
Kini, tantangannya adalah bagaimana program ini bisa menjadi solusi jangka panjang tanpa mengorbankan kualitas atau keberlanjutan. Mampukah Indonesia menjadikan MBG sebagai tonggak sejarah dalam memerangi masalah gizi? Hanya waktu yang bisa menjawab.