Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk jasa pendidikan dan kesehatan premium. Kebijakan ini menimbulkan banyak pertanyaan terutama mengenai definisi dan kriteria spesifik layanan “premium” yang akan dikenakan pajak.
Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, jasa kesehatan dan pendidikan secara umum tidak dikenakan PPN. Perubahan kebijakan ini didasari oleh pertimbangan bahwa layanan premium tersebut umumnya dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas (jasa pendidikan dan kesehatan), sehingga penerapan PPN dianggap sebagai langkah untuk mewujudkan keadilan sosial dan prinsip gotong royong.
Wahyu Utomo, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menjelaskan bahwa salah satu kriteria layanan premium adalah biaya yang tinggi dan standar internasional. “Kriteria premium sedang kami rumuskan. Salah satu pendekatannya adalah biaya pendidikan yang mahal dan/atau berstandar internasional,” ujarnya.
Senada dengan Wahyu, Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, memberikan contoh konkret bahwa layanan pendidikan yang biayanya lebih dari Rp 100 juta per tahun berpotensi dikenakan PPN 12%. Ia menekankan bahwa penerapan PPN pada layanan premium bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam perpajakan, mengingat sebelumnya layanan kesehatan premium atau VIP juga bebas PPN.
Perumusan detail kriteria yang tepat mengenai layanan pendidikan dan kesehatan “premium” perlu diperjelas oleh pemerintah melalui regulasi yang lebih detail, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan. Kementerian Keuangan saat ini masih dalam tahap perumusan detail kriteria layanan pendidikan dan kesehatan yang akan dikenakan PPN 12%.
Singkatnya, meskipun pemerintah telah memutuskan untuk mengenakan PPN 12% pada layanan pendidikan dan kesehatan premium mulai tahun 2025, definisi dan kriteria spesifiknya masih dalam tahap perumusan. Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk keadilan sosial, sementara Apindo berpendapat bahwa dampaknya akan lebih luas dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah. Detail lebih lanjut mengenai kriteria ini diharapkan akan segera dirilis oleh Kementerian Keuangan.