Sebuah badan investasi baru yang dibentuk oleh presiden Indonesia yang baru dilantik akan menyaingi badan investasi negara-negara maju dan membantu menarik investasi asing, menurut pejabat yang baru diangkat.
Bapak Prabowo Subianto akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 8 November. Dikatakan bahwa badan ini mirip dengan badan investasi terkemuka seperti Temasek Holdings yang berbasis di Singapura.
“Pada akhirnya, badan ini akan menjadi sesuatu yang mirip (dengan Temasek Holdings),” kata kepala badan investasi yang baru diangkat, Bapak Muliaman Darmansyah Hadad kepada wartawan pada hari Senin (28 Oktober), seperti dikutip oleh platform media lokal Detik.
Dalam persiapan peluncuran, Bapak Prabowo mengundang Bapak Muliaman, yang juga mantan kepala otoritas jasa keuangan Indonesia (OJK), ke sebuah pertemuan di istana presiden di Jakarta pada hari Senin. “Saya ditugaskan untuk memastikan semua persiapan berjalan dengan baik untuk peluncuran resmi oleh presiden sendiri pada 8 November,” kata Muliaman setelah pertemuan tersebut, seraya menegaskan bahwa Prabowo akan memimpin langsung upacara peresmian badan pengelola investasi tersebut.
“Semua aset pemerintah yang telah dipisahkan akan dikelola oleh badan tersebut tetapi akan dilakukan secara bertahap, dengan pembentukan badan penanaman modal terlebih dahulu, diikuti dengan pembentukan undang-undang,” kata Muliaman. Ia menambahkan bahwa pembentukan badan tersebut akan memerlukan perubahan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menurut Jakarta Globe.
Badan penanaman modal, yang beroperasi dan berfungsi secara berbeda dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara, akan berfokus hanya pada pengelolaan investasi dan dikatakan mencerminkan komitmen Prabowo untuk menciptakan pengelolaan investasi nasional yang lebih terpadu dan terarah, kata Muliaman, seperti dikutip di media lokal.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara bertugas mengembangkan kebijakan pemerintah dan mengawasi badan komersial yang berorientasi pada laba. Seperti dilansir The Jakarta Post, Danantara akan lebih mirip dengan Otoritas Investasi Indonesia (INA) tetapi dengan dana yang lebih besar.
INA adalah dana kekayaan negara Indonesia yang sudah ada, yang didirikan pada tahun 2020. “Danantara bertugas mengelola investasi di luar APBN (anggaran negara), jadi semua aset pemerintah yang dipisahkan akan dikelola oleh badan investasi, tetapi akan dilakukan secara bertahap,” kata Muliaman. Ia menambahkan bahwa Danantara berpotensi bergabung dengan INA dalam jangka panjang.
“Idealnya, penggabungan antara Danantara dan INA harus terjadi,” katanya, seperti dikutip dari Jakarta Globe. “Awalnya kami akan mengkonsolidasikan aset dan menyusun undang-undang yang relevan. Kemudian, kami akan bekerja dengan kementerian lain untuk membentuk struktur lembaga dan tujuannya adalah untuk mengefisienkan dan meningkatkan pengelolaan investasi pemerintah yang tersebar,” jelas Muliaman, seperti dikutip oleh platform media lokal Tempo.
Secara terpisah, dalam sebuah acara di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu meyakini aset yang dikelola Danantara berpotensi menyaingi aset negara-negara maju, sebagaimana dilansir sejumlah media lokal. Analisis tersebut mencakup dana investasi nasional dan dana badan usaha milik negara (BUMN).
Menurut Bank Pembangunan Asia, hingga 2021, ada lebih dari 100 perusahaan milik negara yang diawasi oleh kementerian tersebut, dengan aset senilai US$600 miliar. Ia menyoroti bahwa hampir semua negara yang mengkonsolidasikan aset keuangan dan investasinya telah mampu meningkatkan keuangan negara secara signifikan.
“Hampir semua negara yang mengkonsolidasikan keuangannya mampu memanfaatkannya, artinya mereka mampu menggunakannya untuk menambah dana,” kata Anggito, seperti dikutip kantor berita Antara.
“Presiden akan umumkan (saat peluncuran) berapa dana yang sudah kita kumpulkan dari saham-saham kita, modal kita di (perusahaan milik negara) PT.Pertamina dan PT.PLN, serta dari BUMN dan dana pensiun,” imbuhnya.
Wakil Menteri Keuangan yang baru dilantik itu juga menegaskan bahwa dana yang dikelola Danantara bukan untuk belanja langsung karena sifatnya yang tidak likuid, tetapi bisa menambah pendanaan dan menarik investasi asing yang cukup besar. “Memang pendanaannya tidak likuid, tetapi kalau kita konsolidasikan, akan menjadi entitas superholding solvent yang bisa menarik pendanaan dari pihak lain dan ini akan membiayai proyek-proyek strategis,” jelasnya.
Menurut Jakarta Globe, Norwegia menempati urutan pertama dalam keberhasilan konsolidasi aset keuangannya melalui NBIM, mengelola aset senilai hampir US$1,8 triliun, disusul China Development Bank dengan aset senilai US$1,24 triliun. Kemudian diikuti oleh lembaga investasi di Timur Tengah, dengan Otoritas Investasi Abu Dhabi yang mengkonsolidasi aset senilai lebih dari US$993 miliar dan Dana Investasi Publik (PIF) Arab Saudi sebesar US$847 miliar.
Perusahaan-perusahaan besar lainnya yang tercatat adalah Qatar Investment Authority (QIA) dengan nilai US$765 miliar, National Wealth Fund (NWF) Rusia dengan nilai US$510 miliar, Temasek Holdings Singapura dengan nilai US$332 miliar, Kuwait Fund for Arab Economic Development (KEF) dengan nilai US$302 miliar, dan Khazanah yang berbasis di Malaysia dengan nilai US$30 miliar.