Baru-baru ini, dunia politik Tapanuli Tengah terkejut oleh insiden tak terduga antara Masinton Pasaribu, mantan Anggota DPR RI sekaligus calon Bupati Tapanuli Tengah, dan Camelia Neneng Susanty, Wakil Ketua DPRD Tapanuli Tengah. Kejadian ini bukan hanya memicu polemik di kalangan masyarakat, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang etika dalam politik dan bagaimana hubungan antar kader dalam partai.
Insiden ini berawal dari laporan Camelia ke Polrestabes Medan, di mana ia mengklaim bahwa Masinton telah menarik bajunya hingga kancingnya terlepas. Laporan tersebut terdaftar dengan nomor LP/B/2795/X/2024, dan dipicu oleh situasi yang terjadi di warung durian “Si Bolang Durian” di Kota Medan. Menurut saksi, Ari Mitara Halawa, situasi memanas ketika Masinton memanggil Ari dan mengklaim bahwa keduanya tidak mendukungnya dalam Pilbup Tapteng. Ketegangan ini berujung pada Masinton yang menghampiri Camelia, mempertanyakan loyalitasnya, dan melakukan aksi yang sangat tidak pantas tersebut.
Masinton tidak tinggal diam. Ia melaporkan balik Camelia dan Ari ke Polda Sumut dengan tuduhan penyebaran berita bohong atau hoaks, menciptakan suasana yang semakin panas di dunia politik lokal. Kuasa hukum Masinton, Joko Situmeang, mengklaim bahwa insiden tersebut telah diputarbalikkan dan mendramatisir kejadian yang sebenarnya. Menurutnya, ada banyak saksi di lokasi yang bisa membantah klaim Camelia dan Ari tentang kejadian tersebut.
Insiden ini memberikan gambaran yang menarik tentang dinamika politik di Indonesia, khususnya dalam partai politik seperti PDIP yang keduanya merupakan kader. Ketegangan internal seperti ini sering kali terjadi ketika pemilihan umum semakin dekat, dan para kader saling bersaing untuk mendapatkan dukungan. Namun, alih-alih memperkuat hubungan, insiden semacam ini justru bisa menimbulkan perpecahan yang lebih dalam.
Dari perspektif sosial, insiden ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia politik. Camelia, sebagai seorang perempuan yang memegang posisi penting, berhadapan dengan situasi di mana kehormatan dan reputasinya dipertaruhkan. Kecenderungan untuk meremehkan perempuan dalam politik, baik secara verbal maupun fisik, masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Ini menuntut kita untuk mempertanyakan norma dan budaya dalam politik yang seringkali tidak adil bagi perempuan.
Dalam analisis lebih dalam, insiden ini bisa menjadi cerminan dari bagaimana politik di Indonesia, terutama dalam konteks kompetisi internal partai, bisa menjadi sangat intens dan emosional. Dengan segala dinamika yang ada, harapannya adalah agar para politisi belajar dari insiden ini untuk lebih menjaga etika dan saling menghormati satu sama lain. Terlebih lagi, dalam upaya membangun demokrasi yang lebih sehat, setiap kader seharusnya mampu menunjukkan sikap sportifitas dan profesionalisme, bukan hanya sekadar mempertahankan ego dan ambisi pribadi.
Insiden tarik-menarik baju ini bukan hanya masalah pribadi antara dua kader PDIP, tetapi juga sebuah peringatan bagi dunia politik tentang pentingnya menjaga kehormatan, etika, dan hubungan antar sesama politisi. Kita semua berharap agar politik di Tapanuli Tengah, dan Indonesia secara keseluruhan, bisa lebih beradab dan bersahabat di masa depan.