Perusahaan kontainer makanan asal Amerika Serikat, Tupperware, resmi mengajukan kebangkrutan Chapter 11 pada Selasa, 17 September 2024. Sebelumnya, pada Agustus 2024, mereka meragukan kemampuan untuk bertahan dalam bisnis. Ironisnya, saat pandemi Covid-19, penjualan wadah plastik kedap udara Tupperware sempat meningkat karena banyak orang memasak di rumah. Namun, kini pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan kebangkrutan Tupperware?
Laurie Goldman, Kepala Eksekutif Tupperware, menjelaskan bahwa penurunan penjualan menjadi faktor utama kerugian. Permintaan terhadap wadah makan warna-warni juga terus menurun, meskipun pernah mengalami lonjakan saat pandemi. Selain itu, kenaikan biaya tenaga kerja, pengiriman, dan bahan baku seperti resin plastik setelah pandemi telah menekan bisnis perusahaan.
“Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan kami sangat terpengaruh oleh kondisi ekonomi yang sulit,” ungkap Goldman. Tupperware telah berusaha memperbaiki keadaan bisnisnya selama bertahun-tahun setelah mengalami penurunan penjualan dalam beberapa kuartal terakhir. Dalam pengajuan kebangkrutan, perusahaan menyatakan adanya pengaturan untuk kemungkinan restrukturisasi.
Tupperware sebelumnya juga mengindikasikan bahwa mereka tidak dapat melanjutkan operasi tanpa menemukan cara untuk kembali meraih keuntungan. Pada tahun 2024, perusahaan tersebut terpaksa menutup satu-satunya pabrik di South Carolina, AS, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 148 karyawan. Saham Tupperware pun merosot tajam, anjlok hingga 74,5 persen pada tahun 2024 dan terakhir diperdagangkan hanya seharga 51 sen.
Dengan banyak tantangan dihadapi, masa depan Tupperware menjadi semakin tidak pasti. Perusahaan kini harus mencari solusi cepat untuk bangkit dari kondisi sulit ini. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar dan biaya yang terus meningkat menjadi faktor utama yang menyebabkan perusahaan terpaksa mengambil langkah drastis ini.