Presiden Joko Widodo atau Jokowi membantah membuka ekspor pasir laut. Menurutnya, yang diekspor bukan pasir laut, melainkan sedimentasi atau endapan yang dianggap mengganggu jalur kapal laut. “Yang diekspor itu sedimen, bukan pasir laut. Sedimen ini mengganggu alur pelayaran kapal,” ujar Jokowi di Jakarta, Selasa (17/9/2024). Jokowi menegaskan bahwa sedimen dan pasir laut adalah dua hal berbeda. Meskipun sedimen terlihat seperti pasir, namun tidak dapat disebut sebagai pasir laut.
Pemerintah resmi membuka kembali ekspor sedimen laut setelah 20 tahun melarang ekspor bahan tersebut. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor, serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Pembukaan ekspor ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Sedimentasi di Laut, dan merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun, kebijakan ini menuai protes dari banyak pihak, terutama aktivis lingkungan. Greenpeace Indonesia menolak keras kebijakan ini karena dianggap dapat merusak ekosistem laut dan mengancam kehidupan nelayan serta masyarakat pesisir. Sejak Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 pada 15 Mei 2023, yang memperbolehkan pengambilan sedimen laut di luar wilayah pertambangan, kritik terus bermunculan. Aktivis, akademisi, dan peneliti menilai kebijakan ini berpotensi merusak lingkungan.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan bahwa penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut dan habitat keanekaragaman hayati. Dampak lainnya adalah memperburuk abrasi pantai serta meningkatkan risiko banjir rob. Salah satu contoh kerusakan ini terlihat pada penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, lepas pantai Makassar, pada 2020. Pengerukan pasir oleh kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands, merusak wilayah tangkapan nelayan setempat.
Selain itu, pengerukan pasir laut juga dapat mengubah struktur dasar laut. Perubahan ini mempengaruhi pola arus laut dan dapat memperbesar gelombang. Dampak lingkungan yang ditimbulkan akan mengancam keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Afdillah menambahkan bahwa penambangan pasir laut dapat merusak wilayah tangkapan ikan nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan.