Tradisi arsip di Indonesia diakui minim, terkadang tidak banyak dinamika masyarakat yang terarsip. Begitu pula di dunia seni, utamanya di kalangan pematung. Berangkat dari situ munculkah buku “Krtya Profil Pematung Yogyakarta”. Buku ini ditulis oleh Karen Hardini dan Latief S. Nugraha.
Dosen dan Kurator Seni Rupa Rain Rosidi dalam peluncuran buku di Ruang Seminar TBY mengatakan, pematung yang dimaksud adalah dari lingkup akademis dan didikan sanggar-sanggar. Menurutnya, Jogja bukan sekadar tempat, tapi memunculkan karakter dan karya pematung yang berada di Jogjakarta.
“Pada seni patung ada gejala-gejala unik yang muncul, ketika dilacak bisa dibuat periodesasi yang sifatnya linier. Buku ini menarik untuk mengarsipkan para profil pematung yang locusnya di Jogjakarta,” ujarnya dalam bedah buku, Selasa (3/9).
Pematung Win Dwi Laksono yang juga ditulis dalam buku Krtya mengungkapkan, dia memulai berkarya pada 1978. Saat itu dia diminta untuk mematung oleh seniman patung senior kala masih mahasiswa. Baginya, ada kegelisahan bagi para pematung, yakni saat sudah berada di sebuah proyek, sebab tidak selalu bisa menjalankan idealisme.
“Maka saya melukis dan membuat patung yang sesuai dengan seni murni agar dorongan idealisme tetap terjaga,” ujarnya saat menjadi narasumber bedah buku.
Menurutnya, buku ini menjadi bukti perjuangan dan jerih payah para pematung dalam berkarya. “Para pematung dalam buku ini masih ada empat yang masih hidup dan berkarya,” ungkapnya.