Serikat Pekerja PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) telah memperingatkan adanya potensi fraud di perusahaan sejak 2021. Namun, tindakan yang diambil oleh holding, PT Bio Farma (Persero), dinilai lambat sehingga masalah ini akhirnya meluas.
Ahmad Furqon, Ketua Biro Konseling & Advokasi Serikat Pekerja Indofarma, menyatakan bahwa mereka sudah menyampaikan kekhawatiran terkait keberlangsungan perusahaan farmasi ini kepada berbagai pihak, termasuk Kementerian BUMN. Bahkan, masalah ini juga telah dilaporkan kepada salah satu anggota DPR RI dan dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada tahun 2021.
Pada saat itu, Furqon sudah memperingatkan bahwa perusahaan bisa mengalami kehancuran dalam 2-3 tahun jika masalah ini tidak segera ditangani. Manajemen Indofarma kemudian meminta holding untuk melakukan audit investigasi. Namun, hingga tahun 2023, diduga fraud tetap terjadi, menunjukkan adanya keterlambatan dalam tindakan.
Furqon menilai bahwa pihak holding tidak bertindak cepat. Bahkan, pejabat yang sedang diaudit justru kembali ditunjuk pada tahun 2023, sementara direksi holding tetap dipimpin oleh direktur utama yang sama. Furqon melihat adanya pembiaran dari pihak holding Indofarma. Jika audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilakukan dengan benar, kejadian ini bisa dicegah.
Furqon juga mengingat kembali awal mula terjadinya dugaan fraud di Indofarma. Masalah ini dimulai pada awal tahun 2020, ketika Indofarma berencana membentuk unit bisnis baru yang mengelola produk alat kesehatan. Pada saat yang sama, Indofarma juga diminta mengelola distribusi, meskipun perusahaan ini adalah manufaktur.
Situasi ini kemudian memicu terjadinya fraud. BPK melaporkan temuan mengejutkan terkait audit kerugian PT Indofarma Tbk dan anak usahanya. BUMN farmasi tersebut ternyata terjerat dalam pinjaman online (pinjol).
Sebelumnya, dugaan fraud yang merugikan negara juga telah muncul, menyebabkan masalah keuangan di perusahaan. Temuan ini dilaporkan oleh BPK kepada DPR, bersama sejumlah temuan lain terkait aktivitas Indofarma dan anak usahanya, PT IGM, yang menyebabkan perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Permasalahan ini mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 294,77 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 164,83 miliar. Rinciannya meliputi piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar, persediaan yang tidak dapat dijual sebesar Rp 23,64 miliar, dan beban pajak dari penjualan fiktif FMCG sebesar Rp 18,26 miliar.