Pengamat menyoroti sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas segala kesalahan selama menjalankan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia. Permintaan maaf ini disampaikan Jokowi dalam sambutan momen zikir kebangsaan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis malam, 1 Agustus 2024.
“Dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkan saya dan Profesor K.H. Ma’ruf Amin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini,” kata Jokowi, seperti dikutip dari Antara, Kamis, 1 Agustus 2024.
Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, melihat alasan Presiden Jokowi meminta maaf karena menyadari banyak janji politiknya yang tidak terpenuhi. Bahkan, Ibu Kota Nusantara atau IKN yang sangat ambisius gagal diwujudkan.
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI ini mengatakan Jokowi tampaknya tersentil pemberitaan media massa yang mengulas 10 tahun kepemimpinannya. Majalah Tempo mendeskripsikan ada 18 dosa Jokowi dan 9 nawacita yang tak terpenuhi. “Mungkin 18 dosa Jokowi yang dimuat Tempo, dia mau minta maaf soal itu,” kata Hendri Satrio, lewat pesan yang diterima Tempo, Jumat, 2 Agustus 2024.
Pengamat demokrasi, Gde Siriana, juga menyoroti permintaan maaf yang disampaikan Presiden Jokowi. Menurutnya, permintaan maaf ini dinilai pelik, lantaran tidak sejalan dengan hasil survei kepuasan kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang meningkat menjelang masa purnatugas. “Karena tidak ada yang tegas menyatakan kepuasan. Pandangan saya, ketulusan permintaan maaf ini perlu dipertanyakan,” kata Gde dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Jumat, 2 Agustus 2024.
Permintaan maaf tersebut, lanjut Gde, juga terkesan menjadi formalitas belaka. Sebab, tak jelas ditujukan untuk hal apa dan mengenai kebijakan apa. Apalagi tidak disertai dengan pernyataan menyesal yang dalam atas suatu perbuatan dan kebijakan yang diterapkan. Misalnya menyesal karena mendorong putranya, Gibran, menjadi calon Wakil Presiden saat ia masih berkuasa. Ya, ini jadi hanya formalitas saja,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies atau INFUS itu.
Gde berpendapat, permintaan maaf Jokowi cenderung menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki pengaruh politik yang besar di pemerintahan selanjutnya. “Kata maaf di akhir jabatan ini sesungguhnya dapat diartikan sebagai keyakinan Jokowi untuk menjadi king maker dalam politik Indonesia esok,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti meminta Jokowi menyebutkan kebijakan apa saja yang keliru sehingga dirinya menyampaikan permintaan maaf. Menurut Rangkuti, Presiden perlu menyebutkan faktor yang membuatnya meminta maaf agar dapat diperbaiki di kemudian hari.
“Kalau negarawan, tolong sebutkan kira-kira apa yang keliru yang dilakukan Pak Jokowi selama 10 tahun terakhir, supaya kita perbaiki,” kata Rangkuti dalam Kompas Petang di Kompas TV, Jumat, 2 Agustus 2024. Bagi Rangkuti, permintaan maaf yang disampaikan Kepala Negara cukup mengejutkan. Mengingat, para pendukungnya menganggap bahwa kebijakan-kebijakan Jokowi selama ini selalu dianggap benar. “Saya terkejut, kok Pak Jokowi minta maaf, minta maaf dari apa? Kan selama ini pendukungnya selalu menganggap dia selalu benar, selalu di jalan yang benar, enggak ada salahnya, lah kok beliau tiba-tiba minta maaf,” katanya.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah juga menganalisis sikap Jokowi yang meminta maaf itu hanya sekadar formalitas semata. Dedi menyinggung Jokowi baru meminta maaf setelah 10 tahun memimpin Indonesia. Padahal banyak persoalan yang membuat Jokowi jadi sorotan. “Jokowi memerlukan 10 tahun untuk meminta maaf? Dan itu dalam situasi terdesak karena mungkin gagal wacanakan penambahan periode atau perpanjangan masa jabatan,” kata Dedi kepada awak media, Jumat, 2 Agustus 2024.
Dedi berpandangan permintaan maaf Jokowi jelang akhir masa jabatannya itu hanya sekadar formalitas belaka. Mengingat, banyak hal yang telah dilakukan Jokowi dan sebagian besar, menurut Dedi, justru membebani masyarakat. “Permintaan maaf itu tentu formalitas. Paling terlihat misalnya bagaimana penyediaan lapangan kerja nasional. Bahkan munculnya berbagai regulasi yang seolah tidak melalui proses legislasi yang benar,” kata Dedi.
Menurut pengamat politik dari Citra Institute, Yusak Farhan, permohonan maaf dari Presiden Jokowi memang sudah seharusnya. Pihaknya mengatakan permohonan maaf dari Jokowi di ujung pemerintahannya merupakan sikap ksatria pemimpin. Jokowi disebutnya mengakui ada kesalahan. “Memang sudah seharusnya Jokowi minta maaf karena banyak program yang belum tuntas selama 10 tahun menjabat presiden,” kata Yusak kepada wartawan, Jumat.
Menurut Yusak, masyarakat tentu perlu mengapresiasi Jokowi minta maaf. Sebab, kata dia, permohonan maaf kepada rakyat bisa menjadi tradisi politik yang baik ke depan dalam kultur masyarakat Indonesia. “Jokowi dipilih dan diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin. Ketika berakhir masa jabatannya, sudah seharusnya Jokowi berpamitan kepada rakyat,” kata Yusak.