Belakangan ini, nama Thariq Halilintar menjadi sorotan utama di dunia maya. Sorotan ini bukan semata-mata karena prestasinya, melainkan terkait dengan julukan yang mengejutkan: “Haji Thariq” sejak usia bulan. Perbincangan hangat ini dipicu oleh Geni Faruk, ibunda Thariq, yang mengungkapkan bahwa dia telah mengajak anaknya untuk berhaji sejak usia dua bulan, saat acara lamaran Thariq dengan Aaliyah Massaid.
Candaan ringan ini segera menyebar di berbagai platform media sosial, dengan banyak netizen menertawakan fakta bahwa Thariq disebut telah menunaikan haji sejak usia yang sangat muda. Candaan ini bahkan merambah ke dalam rapat anggota DPR, di mana salah satu anggota rapat dari komisi VI ikut menyelipkan humor tentang “Haji Thariq”.
“Sayangnya Thariq sudah haji sejak usia 2 bulan, pak. Yang ngikutin medsos tahu, ya,” ujar salah satu anggota DPR, memancing berbagai reaksi dari netizen yang merasa candaan tersebut kurang tepat dan tidak pantas dilontarkan di forum resmi seperti rapat DPR.
Banyak netizen menanggapi candaan ini dengan beragam sikap. Ada yang merasa candaan tersebut menghibur, namun tidak sedikit pula yang mengkritiknya sebagai sesuatu yang tidak lucu atau bahkan merasa anggota DPR seharusnya lebih serius dalam menghadapi forum resmi seperti rapat parlemen.
Sebagai seorang influencer dan sosok yang dikenal luas di dunia maya, Thariq Halilintar sering kali menjadi sasaran sorotan publik atas segala tindak tanduknya. Julukan “Haji Thariq” yang viral ini sekali lagi menunjukkan bagaimana kehadiran seorang publik figur dapat dengan cepat memicu diskusi dan perdebatan di ranah media sosial yang begitu dinamis.
Meskipun candaan tersebut tampaknya bertujuan untuk menghibur, namun tetap menimbulkan polemik di kalangan netizen yang sensitif terhadap isu agama dan penggunaan humor di tempat-tempat yang tidak semestinya. Hal ini menggambarkan kompleksitas dalam berkomunikasi di era digital, di mana batas-batas antara humor yang diterima dan tidak diterima menjadi semakin kabur.
Tentunya, fenomena “Haji Thariq” ini juga menjadi refleksi bagi masyarakat tentang bagaimana cara kita menghadapi humor di tengah isu-isu yang sensitif. Meskipun candaan tersebut mungkin hanya sebagai bentuk humor ringan, namun dampaknya dapat cukup signifikan tergantung dari sudut pandang dan nilai-nilai yang dipertahankan oleh masing-masing individu.
Di akhir cerita, julukan “Haji Thariq” mungkin akan terus menjadi bahasan di kalangan masyarakat luas. Sebagai seorang yang aktif di dunia maya, Thariq Halilintar punya pengaruh yang besar dalam membentuk opini publik. Bagaimanapun juga, ini adalah cerminan dari bagaimana kehadiran digital telah mengubah cara kita berinteraksi, bahkan dalam hal-hal yang paling tidak terduga sekalipun.