Hubungan Sembelit dan Kesehatan Mental pada Perempuan, Mengapa Bisa Terjadi?

Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Foto: Vadym Pastukh/Shutterstock

Sembelit atau konstipasi adalah masalah pencernaan yang sering dialami banyak orang. Kondisi ini ditandai dengan frekuensi buang air besar yang berkurang, misalnya kurang dari tiga kali dalam seminggu, dan tinja yang keras, yang sering kali menyebabkan ketidaknyamanan yang mengganggu.

Asupan serat dan cairan yang kurang merupakan penyebab utama sembelit. Oleh karena itu, perubahan pola makan yang lebih seimbang dan menu yang lebih sehat biasanya menjadi solusi utama untuk masalah ini.

Meski bisa dialami oleh siapa saja, sembelit ternyata lebih sering terjadi pada perempuan. Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh National Library of Medicine, perempuan cenderung memiliki waktu transit makanan di usus besar yang lebih lambat dibandingkan laki-laki, sehingga risiko mereka mengalami sembelit lebih tinggi. Selain itu, sembelit sering muncul menjelang atau selama menstruasi. Menurut Cleveland Clinic, hal ini disebabkan oleh perubahan hormon progesteron dan estrogen yang membuat tubuh menahan lebih banyak air dan garam. Peningkatan kadar progesteron dapat memperlambat kerja sistem pencernaan, sehingga menyebabkan perasaan kembung dan sulit buang air besar.

Namun, sembelit bukan sekadar masalah pencernaan. Ketidaknyamanan pada perut akibat sembelit dapat menyebabkan masalah lain, seperti stres dan kecemasan, gangguan tidur, hingga kelelahan kronis. Menurut WebMD, frustrasi akibat sembelit dapat membuat otot-otot di sekitar area pencernaan menegang, sehingga memperburuk kondisi sembelit.

Sebaliknya, stres dan kecemasan yang terjadi lebih dulu akibat tekanan sosial atau pekerjaan juga berhubungan erat dengan masalah pencernaan seperti sembelit. Otak dan usus saling terhubung melalui saraf, sehingga saat kita stres atau cemas, otak akan melepaskan hormon kortisol yang dapat mempengaruhi organ pencernaan. Stres dan kecemasan juga dapat mengganggu keseimbangan mikrobioma atau bakteri baik di dalam tubuh, suatu kondisi yang disebut disbiosis. Disbiosis memungkinkan bakteri jahat untuk menguasai proses di organ pencernaan, menyebabkan peradangan usus, memperlambat metabolisme, dan akhirnya menyebabkan sembelit.

Penelitian dalam jurnal Gastroenterology and Hepatology from Bed to Bench juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan suasana hati dan kecemasan pada pasien sembelit lebih tinggi hingga 50 persen dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami masalah pencernaan ini. Pasien sembelit memiliki tekanan psikologis yang lebih tinggi, dengan gangguan kecemasan, depresi, dan nyeri kronis menjadi masalah kesehatan mental yang paling umum ditemukan pada pasien konstipasi.

Sembelit mungkin tampak sebagai masalah kesehatan yang sederhana karena sering terjadi, namun ternyata penyakit ini sangat kompleks dan dapat mempengaruhi kesehatan mental. Oleh karena itu, jika kamu mengalami sembelit, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter agar mendapatkan penanganan yang tepat dan menjaga kesehatan mentalmu.