Upaya hukum delapan terpidana kasus pembunuhan berencana Vina dan Eky di Cirebon melalui Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini gagal. Mereka mengajukan PK dengan harapan terbebas dari hukuman, tetapi permohonan mereka ditolak. PK ini terdiri dari tiga perkara yang terdaftar di MA, termasuk perkara Rifaldy Aditya Wardhana (Ucil) dan Eko Ramadhani (Koplak), serta lima terpidana lainnya, dan seorang bekas narapidana, Saka Tatal.
Rifaldy dan Eko mengajukan PK dengan nomor perkara 198/PK/PID/2024, sementara lima terpidana lainnya, yaitu Hadi Saputra, Eka Sandy, Jaya, Supriyanto, dan Sudirman, mengajukan PK dengan nomor 199/PK/PID/2024. Sedangkan Saka Tatal mengajukan PK untuk membersihkan namanya meski telah bebas dari penjara, namun permohonan ini juga ditolak. Hakim Agung Prim Haryadi menyatakan bahwa tidak ada bukti baru atau kekhilafan dalam proses hukum mereka.
Juru bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa alasan para terpidana yang mengklaim adanya novum atau bukti baru tidak terbukti dalam proses persidangan. Majelis hakim menilai tidak ada kesalahan dalam keputusan pengadilan sebelumnya, baik dari segi fakta hukum maupun penilaian bukti. Dengan ditolaknya permohonan PK tersebut, putusan yang diajukan tetap berlaku.
Ketua majelis hakim Burhan Dahlan, bersama dua anggota majelis, Yohanes Priyana dan Sigid Triyono, menangani perkara Rifaldy dan Eko. Sedangkan majelis hakim yang menangani lima terpidana lainnya terdiri dari Burhan Dahlan, Jupriyadi, dan Sigid Triyono. Para terpidana tetap dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara Saka yang sebelumnya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara tetap dianggap bersalah meskipun telah bebas.
Kuasa hukum terpidana, Jutek Bongso, mengecam keputusan MA dan menganggapnya sebagai tragedi hukum. Ia menyatakan bahwa fakta baru yang mereka ajukan, seperti bukti percakapan di ponsel yang ditemukan pada waktu pembunuhan, serta kesaksian yang menyatakan bahwa Vina dan Eky mengalami kecelakaan, tidak dipertimbangkan dengan baik oleh majelis hakim. Menurut Jutek, semua bukti tersebut seharusnya bisa menjadi dasar untuk mengkaji ulang keputusan.
Meskipun PK ditolak, Jutek dan tim kuasa hukum berencana untuk mempelajari alasan penolakan tersebut dan mencari jalan hukum lainnya, seperti grasi atau PK kedua. Mereka tidak akan menyerah dalam memperjuangkan keadilan bagi terpidana. Calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, juga menyampaikan dukungan dan berharap perjuangan ini bisa berlanjut melalui langkah hukum lainnya.
Kasus ini bermula pada 27 Agustus 2016, ketika Vina dan Eky ditemukan tewas di jembatan Talun, Cirebon. Polisi awalnya menduga mereka menjadi korban kecelakaan, namun keluarga mereka mencurigai adanya tindak pembunuhan. Setelah penyelidikan lebih lanjut, polisi menetapkan delapan terpidana dan tiga orang buron. Mereka dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Dengan ditolaknya PK ini, keluarga terpidana dan pihak-pihak yang memperjuangkan kasus ini mengungkapkan kekecewaan. Namun, mereka tetap optimis untuk melanjutkan perjuangan hukum guna membuktikan bahwa terpidana tidak bersalah.