Pengadilan Agama Jakarta Selatan baru-baru ini memutuskan bahwa pernikahan antara Rizky Febian dan Mahalini tidak sah secara hukum. Keputusan tersebut didasarkan pada temuan bahwa salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, khususnya terkait wali nikah yang tidak memenuhi syarat.
Menurut Humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan, H. Suryana, penyebab utamanya adalah status Mahalini yang baru memeluk Islam hanya dua hari sebelum menikah. Hal ini membuat ayah kandung Mahalini, yang bukan Muslim, tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan tersebut. “Karena orang tuanya bukan Muslim, maka secara otomatis dia tidak dapat menjadi wali. Oleh sebab itu, digunakan wali lain,” jelas Suryana pada Senin (25/11/2024).
Dalam kasus ini, wali nikah yang bertugas adalah seorang ustaz yang bertindak atas nama wali hakim. Namun, majelis hakim menemukan bahwa proses pengangkatan wali hakim belum memenuhi kriteria yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Pentingnya Wali Nikah
Undang-Undang Perkawinan Indonesia mengatur dua jenis wali, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah pihak yang memiliki hubungan darah langsung dengan mempelai perempuan, sedangkan wali hakim digunakan jika wali nasab tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya. Namun, untuk menggunakan wali hakim, terdapat persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, dan hal ini menjadi permasalahan dalam pernikahan Rizky dan Mahalini. “Dalam kasus ini, ditemukan bahwa pengangkatan wali hakim belum sesuai dengan kriteria undang-undang, seperti tidak ada bukti kuat bahwa wali nasab benar-benar tidak memenuhi syarat,” tambah Suryana.
Langkah Selanjutnya
Keputusan pengadilan ini membawa dampak besar bagi Rizky dan Mahalini, baik secara hukum maupun sosial. Mereka kini dihadapkan pada dua pilihan: mengajukan banding atas keputusan ini atau mengatur ulang proses pernikahan agar sah secara hukum.
H. Suryana menegaskan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan fakta persidangan dan peraturan hukum yang berlaku. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pemahaman hukum, terutama bagi pasangan lintas keyakinan, agar pernikahan mereka tidak hanya sah secara agama, tetapi juga diakui secara hukum.